Kegiatan DPP Simarmata

Kedaulatan Pangan dari Limbah Pertanian

Mewujudkan kedaulatan pangan, Jokowi-JK dalam program aksinya di bidang kemandirian ekonomi periode 2014-2019, akan menempuh sejumlah hal strategis. Salah satunya, membangun tata ruang dan lingkungan berkelanjutan. Ditempuh antara lain melalui pertanian berkelanjutan berbasis bio-eco-region dengan pola pengambangan pertanian organik serta pertanian yang hemat lahan dan air.

Menurut praktisi pertanian, Setiawan Purnomo, pertanian berkelanjutan dengan pola pengembangan yang demikian itu, dalam sistem teknologi pertanian biasa disebut dengan istilah Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO). Dalam konteks pelaku pertanian, lanjut Setiawan Purnomo, terpilihnya Jokowi-JK memberi harapan baru bagi kaum tani.

“Sebab sistem IPAT-BO ini, istilah saya, mampu melumat sejumlah persoalan krusial dalam dunia pertanian Indonesia. Yang kita banggakan, penemunya bukan orang asing, tapi anak negeri. Yakni Prof. Dr. Ir. Tualar Simarmata, MS. Beliau adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (Unpad),” papar pembina Jaringan Pengembangan Pertanian Organik Nasional (JPPON) ini.

Secara terpisah, penemu teknologi IPAT-BO ini, Tualar Simarmata menerangkan, IPAT-BO adalah sistem teknologi produksi terpadu, dengan menitikberatkan pemanfaatan kekuatan biologis tanah, managemen tanaman, pemupukan dan tata air secara terpadu dan terencana untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran padi dalam kondisi aerob.

Teknologi terpadu yang dimaksud Tualar Simarmata, tidak serumit dan semahal yang dibayang. “Teknologinya murah-meriah karena kekuatannya bertopang pada pontensi lokal yang ada. Seperti memanfaatkan limbah pertanian semisal jemari, aneka pupuk hayati dan input lainnya,” papar ahli biokteknologi tanah ini.

Tualar Simarmata sampai pada kesimpulan, kondisi ekosistem lahan sawah maupun lahan kering di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Atau sudah termasuk kategori sakit dan kelelahan (sick soils and fatigue). Sekitar 70 persen dari lahan sawah Indonesia telah memiliki kandungan C-organik yang rendah, yakni kurang dari 2 persen.

Semua itu akibat intensifnya pemberian pupuk anorganik dan eksploitasi yang berlebihan. “Konsekuensinya, lahan tidak lagi resposif terhadap pupuk dan meningkatkan organisme pengganggu tanaman (OPT),” terang doktor pertanian Universitas Justus Liebig,Jerman ini.

Menggunakan medium jerami dalam sistem teknologi IPAT-BO, Prof. Tualar Simarmata meyakinkan, hasilnya bukan saja melipatgandakan hasil produksi, tapi juga memulihkan kesehatan lahan. Karena ciri khas sistem teknologi ini ramah lingkungan, hemat air, hemat bibit, hemat pupuk anorganik, hemat pestisida.

Dalam jerami, papar Prof. Tualar, tersimpan unsur hara tanah dan CO2 sehingga menjadikanya senyawa komplek. Kalau jerami itu diolah menjadi kompos dan dikembalikan ke lahan, akan menjadi sumber organik yang besar. Belum lagi sekam bekas gabahnya yang diproses menjadi biocare dan dikembalikan ke lahan akan lebih menambah kesuburan tanah.

Sejumlah laporan dari website Kementerian Pertanian serta Kementerian Riset dan Teknologi, menunjukan, hasil terapan IPAT-BO di beberapa daerah Indonesia tahun 2007-2012 terbilang memuaskan.

Sistem teknologi IPAT-BO temuan Prof.Tualar ini mampu meningkatkan produksi paling tidak 25-50 persen. Selain itu juga mampu mengurangi penggunaan air sekitar 30-40 persen; mengurangi penggunaan pupuk anorganik sekitar 25 persen; serta selama tiga tahun berturut-turut bisa mengembalikan kesuburan lahan antara 80-90 persen.

Menggunakan kompos jerami sebagai sumber energi dan nutrisi bagi mikroba tanah, berdasarkan terapan tersebut, mampu meningkatkan kesehatan dan kualitas lahan sawah dalam waktu relatif singkat, hanya 4 – 6 musim tanam. Kompos jerami dalam teknologi IPAT-BO ini juga berperan sebagai pupuk lengkap untuk mengurangi penggunaan pupuk buatan, terutama pupuk K dan Si, sehingga dapat disubstitusi hingga 100 persen.

Hasil terapan itu juga menunjukan, penggunaan kompos jerami dengan dosis 2 – 6 ton per haktare (ha) tanpa pupuk K, mampu menghasilkan sekitar 6 – 8 ton gabah kering giling (GKG) per ha. Bandingkan bila tidak menggunakan kompos jerami dan dipupuk hingga 150 kg KCl, hanya menghasilkan 6 ton GKG per ha.

Setiawan Purnomo mengatakan, sistem teknologi IPAT-BO ini telah diterapkan di beberapa kabupaten/kota, baik di Jawa maupun luar Jawa. Terapannya sejak 2007 atau setahun setelah Prof. Tualar Simarmata menemukan sistem teknologi IPAT-BO ini. Informasi mengenai sistem teknologi tersebut, kata Setiawan, bisa diketik kata kuncinya “IPAT-BO + Tualar Simarmata” melalui bantuan mbah Google.

Terapan IPAT-BO, lanjut Setiawan, banyak didukung oleh Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pertanian dan Pemda setempat. “Tahun 2011, kami dari Jaringan Pengembangan Pertanian Organik Nasional (JPPON) juga mendampingi Prof.Tualar Simarmata ke Istana Presiden untuk presentasi IPAT-BO ini. Sekarang tinggal dipercepat melalui program 100 rezim pemerintahan selanjutnya untuk mewujudkan kedaulatan pangan,” usul praktisi pertanian organik ini.
Sumber: KabarPolitik

Janner Simarmata

Dr. Janner Simarmata, S.T., M.Kom. (C.SP., C.BMC., C.DMP., C.PI., C.PKIR., C.SF., C.PDM., C.SEM., C.COM., C.SI., C.SY., C.STMI INT'l., CBPA., C.WI.) Humas DPP Punguan Pomparan Ompu Simataraja Raja Simarmata Dohot Boruna Se Indonesia, di mana sebelumnya adalah Ketua Bidang Infokom DPP diperiode kepengurusan tahun 2008-2012, 2012-2016 dan 2016-2023. Dia juga yang mengelola website SIMARMATA.OR.ID sejak tahun 2008-2022, kini diangkat menjadi Dewan Pakar DPP.

Artikel terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Back to top button