Sketsa Kehidupan Seorang Anak Pulau Samosir
Drs. Rudhy U. Simarmata
Saya tergesa-gesa menuruni tangga halte busway TransJakarta “Bank Indonesia” di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sebab rasanya sudah sekian puluh menit terlambat dari jadwal yang ditetapkan untuk bertemu dengan Bapak Rudhy U Simarmata, di sebuah acara seminar mengenai pembangunan kelautan yang diselenggarakan oleh Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) bekerjasama dengan Universitas Mpu Tantular (UMT), tempat Rudhy sehari-hari mengabdi sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Universitas Mpu Tantular. Seminar setengah hari yang berlangsung di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu merupakan salah satu acara pendukung untuk menghangatkan Perayaan 50 Tahun Deklarasi Djoeanda, yang jatuh pada tanggal 13 Desember 2007.
Ya, persis 50 tahun sebelumnya tepatnya pada tanggal 13 Desember 1957 kepeloporan Perdana Menteri Republik Indonesia Insinyur Haji Djoeanda sebagai tokoh dan pejuang kelautan Indoneisa terpatri menjadi sebuah momen sejarah yang tak akan pernah lekang dari bumi Nusantara. Insinyur Haji Djoeanda dengan gagah berani mencetuskan Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957 di Jakarta, tetapi dunia baru mau menerimanya secara legowo sejak tahun 1992 dengan memosisikan Republik Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan.
Biografi Jurnalistik Drs. Rudhy U. Simarmata
SKETSA KEHIDUPAN SEORANG ANAK PULAU SAMOSIR
Oleh: Haposan Tampubolon
… DAFTAR ISI
BAB I PENDIDIKAN YANG MENCERAHKAN
1. Maaf, Saya Terlambat
2. Terbetik Keinginan
3. Karena Kakak Ipar
4. Keajaiban Karena Sanering
5. Geleri Foto
BAB II KUKUH DI PENTAS NASIONAL
1. Bukan Oleh “Torop Partubu”
2. Ketua DPC GMNI Yogyakarta
3. Mutiara di Atas Lumpur
4. Sarjana Tiket Menikah
5. Galeri Foto
BAB III TEGUH MEMEGANG PRINSIP
1. Mendengar Janji Manis
2. Bertemu Frans Seda
3. Dituduh Memihak Nasionalis
4. Merasa Menjadi Manusia
5. Menjadi Pemilik Taksi
6. Geleri Foto
BAB IV PENTERJEMAH INTUISI PANGERAN, TURUT DIRIKAN KOTA MAHASISWA
1. Turut Dirikan Universitas Mpu Tantular
2. Seperti Pinang Dibelah Dua
3. Sama-Sama Petani Pemimpi
4. Mitra Sinergis Tarnama Sinambela
5. Ditopang Istri Yang Kuat
6. Bangun Asphalt Mixing Plant
7. Terjun ke Pendidikan
8. Aktif Berorganisasi
9. Menyatu dalam Perbedaan
10. Galeri Foto
BAB V MENJADI PELAYAN DI HARI TUA
1. Perjalanan Spiritual ke Israel
2. Rindukan Perdamaian
3. Konsisten di Pembinaan
4. Hebat Bila Bersatu
5. Jangan Lagi Mega
6. Impian di Senja Kala
7. Galeri Foto
BAB VI TOKOH PANUTAN SIMATARADJA
1. Momentum Pernikahan
2. Menelusuri Lorong Nostalgia
3. Dirikan Yayasan dan Tugu Simataradja
4. Galeri Foto
BAB VII LEGENDA DAN SILSILAH OMPU SIMATARAJA
1. Mengenal Ompu Simataradja
2. Ompu Simataradja Yang Legendaris
3. Simataradja Berkemampuan Lebih
4. Simataradja Wariskan Kearifan
5. Silsilah Simataradja Simarmata
6. Galeri Foto
BAB VIII OPINI: FILOSOFI SI DAPOT SOLUP DO NARO
Oleh: Drs. Rudhy U. Simarmata
BAB IX BIOGRAFI SINGKAT
B A B I
PENDIDIKAN YANG MENCERAHKAN
1. Maafkan, Saya Terlambat
Saya tergesa-gesa menuruni tangga halte busway TransJakarta “Bank Indonesia” di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sebab rasanya sudah sekian puluh menit terlambat dari jadwal yang ditetapkan untuk bertemu dengan Bapak Rudhy U Simarmata, di sebuah acara seminar mengenai pembangunan kelautan yang diselenggarakan oleh Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) bekerjasama dengan Universitas Mpu Tantular (UMT), tempat Rudhy sehari-hari mengabdi sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Universitas Mpu Tantular. Seminar setengah hari yang berlangsung di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu merupakan salah satu acara pendukung untuk menghangatkan Perayaan 50 Tahun Deklarasi Djoeanda, yang jatuh pada tanggal 13 Desember 2007.
Ya, persis 50 tahun sebelumnya tepatnya pada tanggal 13 Desember 1957 kepeloporan Perdana Menteri Republik Indonesia Insinyur Haji Djoeanda sebagai tokoh dan pejuang kelautan Indoneisa terpatri menjadi sebuah momen sejarah yang tak akan pernah lekang dari bumi Nusantara. Insinyur Haji Djoeanda dengan gagah berani mencetuskan Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957 di Jakarta, tetapi dunia baru mau menerimanya secara legowo sejak tahun 1992 dengan memosisikan Republik Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan.
Indonesia sangat menghargai jasa Djoeanda sehingga pada tahun 2001 Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri menetapkan setiap tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Deklarasi Djoeanda telah menjadikan laut Indonesia sebagai solid continous, menjadi satu, dimana tidak ada lagi satu titik pun di bumi Nusantara ini yang menjadi milik internasional. Untuk diketahui saja, sebelum tahun 1992 dunia internasional masih berhak menggunakan laut Indonesia secara bebas.
Didasari penghargaan yang tinggi terhadap nilai kejuangan Djoeanda, Universitas Mpu Tantular satu-satunya perguruan tinggi swasta di Indonesia yang memiliki Fakultas Maritim, berkenan bekerjasama dengan DEKIN menggelar seminar. Pendiri dan para pengelola UMT, memang, sangat mengidam-idamkan berdirinya Fakultas Maritim UMT sebagai sebuah pusat pendidikan dan riset kelautan tropis di Indonesia, atau sebagai sebuah center of excellences berkelas dunia. Hal itu dimaksudkan pula untuk mengentaskan penduduk Indonesia yang 160 juta atau hampir 60 persen diantaranya hidup di wilayah pesisir dengan aneka keterbatasan infrastruktur, fasilitas umum, maupun fasilitas sosial.
Pada sisi lain pendirian Fakultas Maritim di UMT didasari pula karena pengelola perguruan tinggi swasta terkemuka di Jakarta ini ingin menjawab tantangan yang pernah dilontarkan oleh Menteri Keluatan dan Perikanan Indonesia, Laksamana Madya (Purn Freddy Numberi dalam sebuah seminar sebelumnya, yang menyebutkan bahwa laut kita mempunyai potensi nilai ekonomis sebesar 157 miliar dolar AS pertahun tetapi tak termanfaatkan secara maksimal.
Potensi kelautan Indonesia itu belum bisa dimanfaatkan karena baik software, hardware, dan brainware untuk mengelolanya tidak pernah dibangun. Di sinilah posisi Fakultas Maritim UMT menjadi sangat strategis untuk mengkaji penyiapan-penyiapan software, hardware, dan brainware dimaksud.
Teringat akan janji untuk bertemu, siang panas terik menjelang penghujung musim kemarau di pertengahan bulan itu tak lagi kuhiraukan. Karenanya kaki ini terus saja kulangkahkan menyusuri koridor Jalan Kebon Sirih yang cukup lumayan jauh jaraknya, untung saja jalanan itu terasa nyaman dan rindang untuk dilalui sebab dilindungi oleh aneka pepohonan yang berusia tua.
Kehadiran Rudhy yang tepat waktu memberi arti lain pula bagi saya, bahwa salah seorang pembicara dalam seminar, yakni Kanjeng Pangeran Tarnama Sinambela Pendiri dan Ketua Umum Yayasan Pendidikan Budi Murni, pengelola UMT, beserta rombongan sudah tiba di lokasi. Berarti pula seminar sebentar lagi sudah dapat dimulai. Maklum, kehadiran saya di situ adalah untuk meliput acara, yang hasil reportasenya secara lengkap kelak diturunkan ke dalam sebuah buku kecil seukuran majalah Intisari sebagai handout yang mudah dibaca dan dibawa kemana-mana. Ribuan handout hasil reportase saya itu menjadi souvenir yang dibagi-bagikan secara gratis kepada semua undangan perayaan puncak Hari Nusantara, berlangsung di Pantai Ancol, Jakarta Utara dipimpin oleh Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla
Tetapi sebelum saya meliput, Rudhy sudah meminta waktu secara khusus untuk bertemu dengan saya, demi membicarakan sesuatu yang kata dia boleh dibilang penting, tetapi boleh juga tidak terlalu penting. Kulihatlah Rudhy U Simarmata seorang tokoh berdarah Batak kelahiran Pulau Samosir 18 Maret 1939, yang selama 30 tahun (1965-1995) menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS) bidang perkebunan, atau sebagai birokrat perkebunan di Departemen Pertanian dengan jabatan terakhir setingkat eselon tiga yang pensiun di tahun 1995 dengan pangkat/golongan IV-D.
Untuk keseluruhan jasa-jasa dan pengabdiannya itu, Pemerintah Republik Indonesia pernah beberapa kali memberikan penghagaan kepada Rudhy. Antara lain, Piagam Penghargaan dari Menteri Penerangan Republik Indonesia tahun 1970, Piagam Penghargaan dari Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia tahun 1988, Piagam Penghargaan dari Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 1991, dan puncaknya Satya Lencana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia tahun 1994.
Bersamaan waktunya sambil bekerja sebagai birokrat, sejak tahun 1984 hingga sekarang Rudhy U Simarmata dimintakan pula untuk mengabdi sebagai penggiat di bidang pendidikan tinggi, diawali dengan menggagas pendirian sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta yang kelak diberi nama Universitas MpuTantular (UMT) Jakarta, sebuah posisi penting yang lantas berhasil membuka cakrawala pergaulan dan dedikasi Rudhy di lingkungan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Wilayah 3 DKI Jakarta.
Dari tujuh orang penggagas pendirian UMT, yaitu Dr MO Tambunan, Jasudin Panjaitan, Drs W Silalahi, Drs A Sihotang, Drs Rudhy U Simarmata, Drs L Tobing, dan Drs Daud Sirait, hingga tahun 2008 yang masih terlibat aktif membangun UMT tinggal dua orang. Yaitu Rudhy U Simarmata menjabat Ketua BPH UMT, dan Drs A Sihotang sehari-hari dosen UMT
Memanfaatkan waktu yang sempit sebelum seminar dimulai sambil minum teh dan makanan ringan yang disediakan panitia, kami pun berdua berbincang-bincang sejenak. Sekalipun usia sudah mendekati kepala tujuh, terlihat sekali wajah Rudhy masih segar bugar. Demikian pula emosinya terkendali dengan baik, kendati saya tahu sesungguhnya tentu ada saja rasa kesal dan marah di pikirannya. Sebab beberapa saat sebelum ketemu terhitung sudah beberapakali dia menghubungi saya lewat ponsel hanya untuk memastikan posisi perjalanan saya di atas biskota, demi sebuah pembicaraan singkat yang katanya penting.
“Tidak apa-apa, kita santai saja,” ucapnya seolah tak ingin mempermasalahkan keterlambatan saya, selaku lawan bicara yang lebih muda usianya satu generasi.
Sebagaimana ciri khas orang Batak asal Pulau Samosir yang dikenal selalu menjunjung tinggi etika pergaulan, sopan santun, dan tata krama, memang mimik, atau raut muka Simarmata tak sedikitpun menunjukkan rasa ketidaksenangan atau setidaknya kekesalan. Ia konsisten saja untuk memelihara kecerdasan emosinya. Saya jadi teringat akan ucapan seseorang sahabat dia, yang disampaikan tatkala Rudhy U Simarmata semasa masih menjabat sebagai Rektor Universitas Mpu Tantular (UMT) berkesempatan mengikuti Kursus Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Angkatan Pertama, di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta, tahun 1997. “Penampilan rapi, bicara tegas, dan lugas, namun sangat bersahabat. Bagaikan buah durian, kulit berduri tapi bila dibuka isinya putih bersih dan manis,” demikian, komentar seorang sahabatnya itu, sesama peserta kursus Lemhannas.
Sekalipun Rudhy dinilai sahabatnya sedemikian rupa, saya tahu, pada hakekatnya di balik sikapnya yang sangat bersahabat, dan berpenampilan rapi, tetapi manakala sudah bersinggungan dengan hal-hal yang prinsipil, Simarmata sesungguhnya tak akan pernah mau berkompromi. Demi keteguhan mempertahankan prinsip dan pendapatnya yang diyakini benar, Simarmata akan berjuang eksesif hingga semaksimal mungkin.
Sebagai salah satu bukti karena didasari oleh prinsip mempertahankan keyakinan akan kebenaran pendapatnya, tidak lama setelah menyelesaikan kursus di Lemhannas tadi di bulan Mei 1998, hampir seluruh media massa cetak, elektronik, dan bahkan media maya digital di Indonesia hingga dunia memberitakan bahwa justru mahasiswa binaan Rudhy dari UMT-lah yang berhasil membentangkan sebuah spanduk raksasa di bagian atas Gedung DPR/MPR RI, yang inti utama pesan politik mahasiswa UMT turut mendorong percepatan runtuhnya rejim Orde Baru yang sudah 32 tahun bertahta. Heroiknya mahasiswa UMT ketika itu tak kalah dengan perjuangan para pejuang reformasi lainnya.
Penampilan keseharian yang rapi, bicara tegas, dan lugas, serta sangat bersahabat, tetapi dibalut oleh keteguhan sikap untuk selalu mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran yang berlaku universal, membuat Rudhy menjadi sangat dihormati oleh kawan-kawan sekaligus disegani oleh mereka yang berbeda pendapat dengannya.
Selain sudah mengenal sedikit kepribadian Rudhy, yang sebelumnya sudah beberapa kali bertemu berbincang dan bertegur sapa dengan saya, setahu saya, Lemhannas tempat Rudhy berkesempatan digembleng adalah juga merupakan sebuah lembaga yang membentuk karakter dan wawasan Simarmata terpelihara untuk tetap menasional. Di Lemhannas itu Rudhy dibekali dengan penghayatan akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Lemhannas juga memesankan kepada Rudhy untuk selalu melihat ke depan akan tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan Bangsa dan Negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Lemhannas adalah lembaga negara yang tugas utamanya mencetak kader-kader pemimpin berkaliber nasional sesuai di bidangnya masing-masing.
Sebelum mengikuti kursus Lemhannas pun, dalam dimensi lain kepribadiannya, Rudhy U Simarmata sudah terlebih dahulu bersentuhan dengan institusi lain yang juga tak kalah bergengsinya yaitu Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Setjen Wanhankamnas) untuk menggodok berbagai pemikiran yang bersifat solusi mengenai hal-hal pertahanan dan keamanan nasional. Konsep dasar Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) merupakan salah satu produk terkemuka Wanhankamnas pada masa Orde Baru dahulu.
Di Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional sepanjang tahun 1985-1993 itu Simarmata antara lain bergiat sebagai Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Bidang Pancasila, Ketua Sub Pokja Bidang Pembauran, Ketua Sub Pokja Bidang Pengkajian Kewirausahaan, serta Ketua Sub Pokja Bidang Pengalihan Modal/Saham Dalam Rangka Mewujudkan Pemerataan Pembangunan dan Hasil-Hasil Pembangunan.
Karena karakternya sudah sedemikian rupa dibentuk di Wanhankamnas, Lemhannas, serta sebagai birokrat sejati di pemerintahan, yang membuat Rudhy memiliki kepribadian yang multidimensi, di era reformasi selaku Rektor ia pun memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada setiap mahasiswanya untuk berekspresi, dan melakukan sejumlah aksi demonstrasi sepanjang masih dalam koridor kebebasan akademik hingga akhirnya rejim Orde Baru berhasil tumbang.
Warisan kebebasan akademik yang demikian itu masih tetap terpelihara hingga kini di UMT, sekalipun sejak tahun 2000 (hingga sekarang) Simarmata sudah bertukar posisi menjadi Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Universitas Mpu Tantular, terutama manakala mahasiswa UMT ingin mengkritisi setiap kebijakan nasional yang dinilai tidak prorakyat.
2.Terbetik Keinginan
Dalam perbincangan kami berdua agaknya tak diperlukan lagi lama berbasa-basi. Usai minum teh dan menikmati makanan ringan di pagi hari yang sejuk dan menyenangkan itu iapun mengutarakan niatnya untuk memiliki buku biografi, menandai usianya yang menjelang tahun ke-70.
“Pikiranku untuk memilikinya mulai terbetik tatkala menyaksikan Pdt Dr SM Siahaan, mantan Sekjen HKBP periode tahun 1992-1998, meluncurkan buku biografi menandai hari ulangtahunnya yang ke-70 beberapa waktu lalu,” ujar Rudhy.
“Oh, itu rupanya,” aku menggumam saja dalam hati tanpa kuucapkan keluar dari mulut saya, perihal maksud dia untuk bertemu secara khusus pada pagi hari itu. Ini, memang, bukan pertemuanku yang pertama dengannya. Sudah sering, malah, di berbagai kesempatan untuk membahas aneka topik pembicaraan. Tetapi tak sekalipun pertemuan sebelumnya itu membicarakan masalah pribadinya, atau perihal peta perjalanan hidupnya sebagai seseorang yang ingin disketsakan ke dalam sebuah buku biografi. Maka saya agak surprise mendengar ucapannya kali ini.
“Karena itulah sebelum saya bercerita mengenai perjalanan hidup saya sebagai anak seorang petani, yang akan saya ceritakan dalam beberapa pertemuan kita ke depan, saya meminta kesediaan Anda terlebih dahulu,” ucap suami dari R. Dameria br Manullang, ayah dari enam orang anak serta kakek dari sembilan cucu ini.
Rudhy U Simarmata lahir di Samosir 18 Maret 1939 sebagai bungsu dari lima bersaudara, dari pasangan Ayah Sudung Simarmata Gelar Ompu Mangasal Doli, dan Ibu Saturlan boru Situngkir Gelar Ompu Mangasal Boru. Kedua orangtua yang melahirkannya itu sudah almarhum. Demikian pula dengan keempat saudara kandungnya, semua sudah terlebih dahulu menghadap Yang Maha Kuasa.
Saudara tertua perempuan bernama Ramini br Simarmata gelar Ompu Baren Boru, menikah dengan seorang pria marga Situngkir. Saudara kedua, pria, bernama T.J. Simarmata gelar Ompu Oskar Doli, menikah dengan boru Situngkir. Ketiga, pria, D.A.H. Simarmata gelar Ompu Fery Doli, menikah dengan boru Sidebang. Dan yang keempat, pria, W.I. Simarmata gelar Ompu Kristian Doli, menikah dengan boru Sinurat.
Rudhy U Simarmata sendiri menikah dengan R. Dameria br Manullang Gelar Ompu Stefhanus Boru pada tanggal 31 Maret 1966 di HKBP Petojo, Jakarta Barat. Rudhy ingat betul pernikahannya pada saat itu diberkati oleh Pendeta PWT Simanjuntak, sosok pendeta renda hati yang dikemudian hari terpilih menjadi Ephorus HKBP pada periode 1992-1998.
Pernikahan Rudhy dan Dameria dikaruniai enam orang anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anak pertama perempuan bernama Taruly Radiana br Simarmata, SE menikah dengan Marsedi Situmorang, SH, MM dikaruniai tiga orang cucu masing-masing Paskaria, Febrianti, dan Andre. Anak kedua perempuan bernama Lasmauli Noverita br Simarmata, menikah dengan J. Parlindungan Siregar, SH dikaruniai tiga orang cucu masing-masing Evan, Edwin, dan Edelwesia.
Anak ketiga laki-laki bernama Toga Manda Simarmata, SH menikah dengan Bertha br Situngkir, memberikan satu orang cucu bernama Stefhanus. Sebagai cucu terbesar dari pihak anak laki-laki tertua, nama Stefhanus menjadi nama gelar sebutan bagi Rudhy dan Dameria. Jadilah keduanya masing-masing memiliki nama lengkap Rudhy U Simarmata Gelar Ompu Stefhanus Doli, dan R. Dameria br Manullang Gelar Ompu Stefhanus Boru.
Anak keempat perempuan bernama Dewi br Simarmata, SE menikah dengan Hengky Batubara dan dikaruniai satu orang cucu bernama Regina. Anak kelima juga perempuan bernama Indahwati br Simarmata, SE menikah dengan B Silalahi dan dikaruniai seorang cucu bernama Jessica. Anak keenam bungsu bernama Poltak Halomoan Simarmata, masih belum menikah, saat ini sedang bermukim di Amerika Serikat.
Pulau Samosir tempat Rudhy berasal memiliki sebuah legenda atau tepatnya cerita rakyat yang diyakini ada kebenarannya. Yaitu, tersebutlah dalam legenda itu seorang nelayan penangkap ikan yang sudah bekerja menjala ikan sejak pagi hingga sore hari, namun jerih payahnya itu tak jua berhasil menangkap ikan. Dia lalu termenung. Tetapi dalam ketermenungannya itu, ketika sambil mendayungkan perahu ke tepi pantai, tiba-tiba saja jalanya berhasil menangkap seekor ikan. Uniknya ikan itu dapat berbicara, dan lantas mengatakan supaya dia jangan sampai dibawa ke rumah, tetapi ditaruh saja di dangau yang ada di tepi pantai tersebut. Si ikan juga berpesan agar sang nelayan mau kembali datang keesokan harinya ke dangau tersebut.
Besok paginya betullah si nelayan itu datang ke dangau tetapi tak lagi diltemuinya seekor ikan, melainkan seorang gadis yang sangat cantik. Wanita itu kemudian berujar dia mau dijadikan istri, asal si nelayan mau berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun, kapanpun waktunya, dan karena apapun yang terjadi, bahwa istrinya itu berasal dari ikan.
Singkat cerita setelah menjadi suami istri lahirlah seorang anak laki-laki yang sejak kecil pada dasarnya selalu merasa lapar, dan karenanya ingin terus makan. Setelah besar, suatu ketika disuruh ibunyalah si anak untuk mengantarkan makan siang kepada bapaknya yang bekerja di ladang. Tetapi karena merasa lapar si anak memakan makanan bapaknya di tengah jalan, baru kemudian meneruskan perjalanannya ke ladang ke tempat bapaknya bekerja.
Si bapak bertanya dimana makanannya, yang lalu dijawab si anak bahwa makanannya sudah habis dimakan sendiri. Karena merasa lapar dan sangat marah, maka secara spontan dikatakan bapaknyalah, “Kau betul-betul anak ikan, dan tak tahu sopan santun.”
Masih banyak makian lain yang disampaikan bapaknya. Sambil menangis si anak pulang dengan berlari menemui ibunya, dan bertanya, apakah betul dia anak ikan. Si ibu sambil menangis mengatakan bahwa bapaknya sudah ingkar janji. Si ibu lantas berdoa kepada Yang Maha Pencipta untuk mendatangkan air bah.
Legenda itulah yang diyakini sebagai asal mula keberadaan Danau Toba dan Pulau Samosir. Soal kebenarannya, wallahualam.
Pulau Samosir terdiri beberapa kecamatan, salah satunya Kecamatan Pangururan. Di Kecamatan Pangururan itulah terdapat salah satu desa yang dikenal dengan sebutan Negeri Parbaba. Lebih spesifik lagi, di Negeri Parbaba itu ada sebuah kampung bernama Huta Manda, inilah kampung tempat Rudhy U Simarmata dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1939.
Penduduk Negeri Parbaba hidup dari penghasilan bercocok tanam padi, bawang, dan sayur-sayuran, serta dari menangkap ikan sebagai nelayan. Kultur tanah Negeri Parbaba yang terdiri tanah kering membuat penduduknya rata-rata berpenghasilan rendah, sebagaimana umumnya warga Pulau Samosir yang keseluruhan tanahnya tandus dan berbukit-bukit.
Kondisi demikianlah, di sisi lain, telah menggerakkan banyak pemuda Pulau Samosir untuk pergi merantau ke daerah lain untuk mencari penghasilan dengan bekerja, misalnya ke wilayah Simalungun, atau ke Sumatera Timur pada umumnya. Mereka ada yang menjadi pedagang bawang, pedagang ikan. Kegiatan mereka sebagai perantau lama kelamaan ada yang meningkat menjadi pedagang kain, dengan wilayah pemasaran yang juga meningkat seperti ke berbagai lahan perkebunan di Sumatera Timur, Sumatera Barat, bahkan ada yang sampai ke Lampung di wilayah paling selatan Pulau Sumatera.
Umumnya para pedagang asal Samosir itu memperoleh keuntungan yang lumayan banyak, sebab mereka banyak yang terjun berdagang kain langsung ke wilayah perkebunan. Mereka menjual kain secara kredit, pembayarannya ditagih dua kali dalam sebulan jatuh setiap tanggal 1 dan 15, sesuai kesepakatan bersama.
Usaha berdagang yang menjanjikan keuntungan yang lumayan lantas memicu lahirnya pemikiran yang lebih baru bagi warga Samosir. Yaitu, untuk mulai memikirkan bagaimana menyekolahkan anak-anaknya.
Sejak mengalami kebangkitan perekonomian di tahun enampuluhan itulah mulai terdapat anak-anak asal Pulau Samosir yang maju dalam pendidikan, meskipun sebagian besar warga Samosir masih hidup dalam serba kekurangan, dan dalam taraf kehidupan yang masih sangat rendah.
Pulau Samosir kendati merupakan daerah asal mula sekaligus tempat kelahiran Si Raja Batak, manusia pertama bangsa Batak yang diyakini lahir di Gunung Pusuk Bukit, yang membuat warga bangsa Batak asal Pulau Samosir sesungguhnya dapat saja disebut sebagai saudara tua bagi semua orang Batak, harus diakui masih sangat tertinggal dalam hal kemajuan pendidikan dan perekonomian dengan “saudara mudanya” yang bermukim di daerah lain seperti Silindung, Humbang, Toba, dan daerah-daerah Batak lainnya.
Perbedaan peta kemajuan yang sedemikian rupa adalah salah satu pengaruh langsung kehadiran pemberitaan kabar Injil ke tanah Batak, kabar baik yang terlebih dahulu menyentuh masyarakat Batak di wilayah Toba Daratan, khususnya pemberitaan yang dilakukan oleh pemberita bernama I.L. Nomensen, figur pelayan Tuhan asal Jerman yang disebut-sebut dan disetarakan sebagai Rasul Orang Batak.
Injil, bagaimanapun, dalam pemberitaannya selain berhasil mencelikkan mata rohani setiap orang Batak, kehadirannya oleh Nomensen juga ditopang oleh pengajaran pendidikan baca tulis dan surat-menyurat, perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat, serta perbaikan sistem mata pencaharian masyarakat berupa pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan.
Wilayah Toba daratan umumnya jauh lebih maju dalam berbagai hal dibandingkan dengan saudara tuanya yang bermukim di wilayah pulau Samosir, pada saat penduduk Pulau Samosir umumnya masih sangat tertutup yang terutama disebabkan oleh sarana perhubungan ke pulau Samosir yang kurang mendukung, serta tingkat pendidikan masyarakatnya yang masih sangat rendah.
Sebagai contoh wilayah Toba Daratan seperti Tarutung pada masa awal pemberitaan Injil ke Tanah Batak adalah pusat penyebaran agama Kristen Protestan, yang direpresentasikan oleh kehadiran Kantor Pusat HKBP di Pearaja, Tarutung. Sebagai pusat pekabaran injil, di wilayah Tarutung dan wilayah-wilayah lain Toba Daratan banyak didirikan pusat pendidikan dan keterampilan berupa sekolah-sekolah dan bengkel-bengkel teknik pertanian dan pertukangan. Tentu, semakin banyak sekolah dan bengkel di suatu aerah, maka akan semakin tinggilah minat warga di sekitar daerah itu untuk mengecap pendidikan karena mereka akan dapat menyaksikan sendiri hingga merasakan langsung manfaat dan pentingnya hidup yang berpendidikan dan berketerampilan.
Tetapi faktanya adalah, apabila sejak awal pemberitaan Injil, masa penjajahan Belanda, hingga awal-awal kemerdekaan di wilayah Toba sudah banyak berdiri sekolah-sekolah mulai SD (SR) hingga SMA (HIS/MULO), hal yang sebaliknyalah yang justru sedang terjadi di Samosir.
Karena sekolah setingkat SD saja masih sangat jarang berdiri di Pulau Samosir, maka, kalau ada warga Samosir yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ke SMP, atau SMA, misalnya, mereka harus keluar dari wilayah Samosir pergi “merantau” ke wilayah Toba, atau ke Simalungun, atau ke Sumatera Timur.
Karenanya bisa dipastian, seandainya saja sudah sejak lama Pulau Samosir memiliki sekolah, sama seperti “saudara mudanya” di wilayah Toba Daratan, tentu cara berpikir orang-orangtua di Pulau Samosir pasti sudah sangat maju sejak dulunya, atau paling tidak setara dengan “saudara mudanya”.
Tetapi kesadaran untuk menginjak dunia pendidikan itu baru muncul sejak tahun 1960, tatkala mulai banyak orang Samosir yang sukses berdagang kain ke perkebunan-perkebunan di berbagai wilayah di pulau Sumatera. Sejak era pencerahan itulah penduduk pulau Samosir mulai berprinsip anak-anak perlu sekolah agar lebih maju dari para orangtua, atau para pendahulunya. Sejak itu pulalah mereka seolah gigih berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya masing-masing semampu mungkin.
Tetapi sekalipun Pulau Samosir secara administratif pemerintahan masuk ke dalam wilayah teritori Kabupaten Tapanuli Utara, dalam kesadaran barunya akan pendidikan yang lebih tinggi warga di sana tak mau berpaling ke sekolah yang didirikan di daerah Balige, atau Tarutung, dua daerah yang sesungguhnya sudah sejak lama dikenal sebagai wilayah pusat pendidikan di Karesidenan Tapanuli.
Hati dan pikiran warga Samosir lebih tertuju ke daerah Sumatera Timur didasari oleh kedekatan geografis, kemudahan sarana komunikasi dan transportasi, serta tradisi berhubungan erat secara emosional yang sudah terjalin lama antara warga Samosir dengan warga Simalungun.
Orang Samosir lebih mudah dan lebih cepat naik perahu atau solu ke wilayah Sumatera Timur daripada ke wilayah Tapanuli Utara. Demikian pula setelah ada kapal motor yang berlayar dari Samosir ke pantai kota kecil di Haranggaol, maupun di Tigaras, keduanya di daerah Simalungun, kedekatan psikologis yang sudah sejak lama terjalin antara Samosir dengan Simalungun semakin diperkuat.
“Memang karena sarana transportasi perairan yang kurang memadai dari Balige ke Samosir, itulah yang membuat saya sampai saat ini belum pernah sekalipun berkunjung ke Pulau Samosir,” ucapku menyela pembicaraan Simarmata untuk kesekian kalinya.
“Iya, kuakui itu. Tapi ada baiknya suatu ketika kau ke sana menjumpai saudara-saudara tuamu, sebab dari situlah daerah asal mula nenek moyang kita Si Raja Batak yang penuh legenda itu. Jika kau takut naik kapal motor ke sana, sebenarnya sudah bisa pula ditempuh dengan perjalanan darat,” kata Rudhy, sepertinya mengerti kegelisahanku yang enggan naik kapal motor.
3. Karena Kakak Ipar
Rudhy U Simarmata sangat membanggakan kedua orangtuanya yang hidup bertani dan nelayan, serta memiliki profesi yang sangat terhormat pada masa itu sebagai “Tukang Mas” yang pekerjaan sehari-harinya adalah menempa emas. Dari bahan emas diolahnya menjadi beraneka asesoris tubuh manusia atau perhiasan seperti anting-anting, gelang, cincin, dan sebagainya.
Memanfaatkan peralatan menempa emas seadanya sebuah warisan turunan dari leluhur, profesi sebagai “Tukang Mas” sesungguhnya tidaklah dapat diharapkan untuk memberikan kekayaan. Cara membuat emas dan menggunakan peralatannya saja sederhana, yaitu dengan meniup melalui ruas bambu ke bara api dengan cara penekanan pada pernapasan.
Sekalipun demikian Rudhy sangat bangga akan profesi orangtuanya, karena umumnya masyarakat Batak sangat menghormati kedua orangtuanya itu terbukti dari banyaknya tokoh-tokoh adat dan negeri dari seluruh pelosok Pulau Samosir yang datang menemui ayahnya untuk memesan membuat berbagai perhiasan dari bahan emas.
Berbeda dengan kedua orangtua yang menggeluti pekerjaan sebagai petani, nelayan, dan tukang emas, ketiga kakak laki-laki Rudhy sudah mengikuti pola pekerjaan yang mulai digeluti sebagian besar warga Pulau Samosir, yaitu berdagang kain ke Sumatera Timur, Sumatera Barat, Jambi, hingga ke Lampung. Ketiga orang kakaknya harus berdagang kain sebagai tonggak kehidupan keluarga, serta supaya ada kemampuan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka berdagang tidak membawa keluarga karenanya pulang membawa hasil ke rumah kadang-kadang hanya sebulan sekali, bahkan tak jarang hingga tiga bulan pergi berdagang belum tentu pulang membawa hasil.
Sebagai bungsu dari lima bersaudara pada masa itu Rudhy menjalani masa-masa bersekolah dengan sangat menderita. Dengan pakaian seadanya Rudhy memulai sekolah di Sekolah Rakyat (S.R.) VI Negeri Samosir tahun 1947. Dia berangkat dari rumah ke sekolah yang jaraknya sangat jauh dengan berjalan kaki saja. Bahkan untuk mendapatkan “tiket” boleh pergi ke sekolah Rudhy harus terlebih dahulu terjun ke sawah, menyelesaikan tugas-tugas yang harus diselesaikannya di sana seperti membajak sawah, sebelum sawah ditanami padi.
Sekalipun sudah menunaikan tugas yang sedemikian berat Rudhy tetap diberangkatkan setiap hari ke sekolah dengan perut kosong. Keluarga tak pernah membekalinya dengan sarapan pagi. Situasi demikian itu memang seolah dikondisikan oleh umumnya masyarakat Batak pada masa itu, mengingat tenaga setiap anak sebagai anggota keluarga setiap harinya sangat dibutuhkan untuk bekerja ke sawah. Sementara bila bersekolah hasilnya tak bisa serta merta dirasakan pada saat itu, melainkan masih sangat lama.
Sebelum menginjak bangku sekolah Rudhy masih ingat betul bahwa setiap anak di Pulau Samosir baru diperbolehkan bersekolah jika si anak sudah dapat memegang telinga kiri dengan tangan kanan dari atas kepala. Hal ini konon dikatakan merupakan salah satu syarat untuk dapat diterima masuk S.R., yang membuat setiap anak rata-rata baru bisa diterima sekolah setelah berusia delapa tahun.
Yang menarik, ketika sudah menyelesaikan pendidikan kelas tiga, untuk melanjut ke kelas empat dan seterusnya Rudhy harus pindah sekolah ke gunung mengingat aksi polisional Belanda pada saat itu membuat seringkali terjadi tembak-menembak antara tentara gerilyawan Republik Indonesia dengan tentara Belanda.
Rudhy akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan di SR Negeri VI Samosir tahun 1953, setelah melewati ujian akhir yang berlangsung di kota Pangururan jaraknya belasan kilometer dari rumah, tetapi harus ditempuhnya dengan berjalan kaki.
Rudhy kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Pertama (SMEP) Negeri di Pematang Siantar, tahun 1953. Berasal dari lingkungan pedesaan kemudian masuk ke lingkungan pergaulan baru di perkotaan, bagi Rudhy tentu sangat berbeda sekali rasanya sampai-sampai mempengaruhi pola hidup dan pergaulannya sehari-hari. Bagaimanapun, karena belum pernah bersentuhan dengan lingkungan perkotaan Rudhy awal-awalnya masih saja kaku bergaul dengan lingkungan sekitar. Begitu pula dengan pola belajar terasa sangat berbeda jauh antara pola pengajaran yang diberikan gurunya semasa di SR dulu, dengan kini di SMEP.
Tetapi karena memang sudah didasari oleh keinginan kuat untuk menikmati dunia pendidikan lama-kelamaan Rudhy berhasil mengalami kemajuan beradaptasi dalam segala hal, yang membuatnya mulai merasa nyaman dalam bergaul. Tekadnya untuk belajar semakin bulat saja. Terlebih kali ini dalam belajar Rudhy tak lagi harus ditemani lampu minyak tanah, sebab sudah ada lampu listrik. Sebelum berangkat sekolahpun Rudhy tak perlu berangkat ke sawah terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rutin yang ditugaskan seperti di SR.
Kegigihan untuk bersekolah rupanya ada harga mahal yang harus dibayar oleh Rudhy. Ketika duduk di bangku kelas dua SMEP Negeri Pematang Siantar Rudhy harus merelakan kepergian Ibundanya, Saturlan br Situngkir untuk selama-lamanya dan dikebumikan tanpa sempat jasadnya disaksikan Rudhy. Kesedihan yang luar biasa melepaskan kepergian Sang Ibu tersayang baru bisa diluapkan Rudhy ketika dalam sebuah liburan sekolah ia pulang ke kampung halaman.
Rudhy berhasil menyelesaikan pendidikan SMEP tahun 1956, yang kemudian dilanjutkannya ke SMEA Negeri Medan Sumatera Utara. Di Medan lagi-lagi Rudhy harus melakukan adaptasi baru dengan lingkungan sekitar. Kendati mula-mula mengalami kesulitan dalam belajar, karena berjumpa dengan orang-orang yang sama sekali baru, Rudhy akhirnya menyimpulkan belajar di sekolah lanjutan atas tak berbeda jauh dengan tatkala memasuki sekolah lanjutan tingkat pertama di Pematang Siantar. Pengalaman tiga tahun lalu beradaptasi dari lingkungan pedesaan di Samosir dengan lingkungan perkotaan di Siantar, kali ini berkontribusi besar dalam memudahkan Rudhy beradaptasi di kota Medan.
Di Medan ini Rudhy mengalami masa-masa kegentingan nasional akibat “pemberontakan” yang dilakukan oleh PRRI terhadap pemerintah pusat, dimana ada banyak teman-temannya sesama siswa sekolah yang memilih mengikuti haluan para pemberontak. Banyak siswa teman-teman Rudhy memilih bergerilya ke hutan-hutan bersama para pemberontak karena dorongan akan ada pembagian uang, serta karena alasan lain pada saat itu identitas rasa kesukuan masih sangat mendominasi pola pikir masyarakat.
Pada masa itu kelompok-kelompok pemuda yang dipersamakan berdasarkan identitas kedaerahan seingat Rudhy masih sangat kuat, sehingga dengan adanya pemberontakan PRRI terjadilah pengelompokan-pengelompokan yang merasuk hingga ke lingkungan preman yang menguasai pasar dan bioskop di kota-kota Medan. Misalnya, apabila sebelumnya bioskop-bioskop dan pasar dikuasai oleh sekelompok preman dari suku tertentu, setelah terjadi pemberontakan beralihlah menjadi dikuasai oleh geng-geng atau suku dari kelompok lain.
Sekalipun demikian pemberontakan PRRI tak sampai mengganggu proses belajar Rudhy di Medan. Ia akhirnya berhasil menamatkannya tahun 1959, yang membuat seluruh anggota keluarga bergembira sekali tatkala menyambut kedatangan Rudhy di kampung halaman sebagai lulusan pendidikan sekolah menengah ekonomi tingkat atas.
Kegembiraan luar biasa anggota keluarga dan yang patut menjadi catatan penting di sini, karena Rudhy pada saat itu masih merupakan orang pertama dan satu-satunya dari kampung halamannya yang berhasil tamat dari pendidikan sekolah menengah tingkat atas. Karena prestasi yang membanggakan pada masa itu kepada Rudhy secara khusus diadakan sebuah pesta perayaan kecil-kecilan, dengan mengajak seluruh anggota keluarga untuk makan bersama sekaligus sebagai kesempatan untuk memberikan petuah-petuah yang berguna kepada Rudhy, disertai pula dengan kata-kata pujian yang sangat membersarkan hati anak muda itu.
Tetapi, sesungguhnya, pembicaraan berisi petuah dan pujian yang membesarkan hati itu pada akhirnya berujung kepada pesan-pesan pernikahan, supaya Rudhy cepat-cepat mencari pekerjaan dan lalu setelahnya segera menikah. Para anggota keluarga itu beralasan masih banyak anak-anak anggota keluarga lain yang perlu bersekolah, sehingga alangkah lebih baik apabila Rudhy segera menikah.
Seluruh anggota keluarga memang menyatakan setuju-setuju saja Rudhy segera menikah kecuali seorang kakak iparnya, yaitu boru Situngkir, yang istri dari abang tertua laki-laki bernama T.J. Simarmata. Sang kakak ipar berasalan anak-anaknya masih duduk di bangku SD, dan baru satu orang saja yang sudah duduk di bangku SMP di Kota Pangururan. Dia lantas menegaskan agar Rudhy meneruskan saja pendidikannya ke jenjangyang lebih tinggi di pulau Jawa. Dan ajaib inilah rupanya yang akhirnya terjadi.
4.Keajaiban Karena Sanering
Sebelumnya, ketika Rudhy hendak menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Atas (SMEA) Negeri Medan, Kepala Sekolah sudah memerintahkan setiap siswa untuk membuat secara tertulis surat lamaran ke berbagai perguruan tinggi yang ada saat itu untuk melanjutkan pendidikan, termasuk salah satu perguruan tinggi yang menjadi favorit Rudhy Universitas Gadjah Mada (UGM), terletak di kota Yogyakarta.
Persis lima hari sebelum pengumuman kelulusan sudah tiba surat pangilan dari UGM yang isinya antara lain menyatakan, setiap pelamar dimintakan untuk datang mengikuti testing ujian masuk, yang pelaksanaannya tinggal lima hari ke depan.
Surat panggilan itu jelas memusingkan Rudhy. Sebab waktunya sudah sangat mendesak sekali. Apabila saja hari itu ia berangkat dengan naik kapal laut dari Belawan ke Tanjung Priok, Jakarta, dibutuhkan waktu tempuh perjalanan di laut setidaknya tujuh hari. Belum lagi naik kereta api dari Jakarta menuju Yogyakarta yang butuh waktu tambahan setidaknya semalaman. Jadi berangkat ke Yogyakarta untuk mengikuti testing sudah sangat tidak memungkinkan dari segi waktu.
Tetapi lagi-lagi didasari oleh kekuatan tekad agar Rudhy dapat melanjutkan pendidikan tinggi direncanakanlah agar perjalanan ke pulau Jawa ditempuh dengan naik pesawat terbang, sesuatu yang tergolong masih sangat mewah dan istimewa ketika itu di tahun 1959.
Tetapi tiba-tiba saja timbul masalah lain, ada kebijakan terbaru dari pemerintah yang melakukan sanering atau pemotongan nilai mata uang rupiah dari uang yang tadinya nominal Rp 1.000 dipotong nilainya menjadi hanya Rp 100. Hal ini menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menyediakan ongkos dan bekal selanjutnya di perantauan.
Seirama dengan kakak iparnya yang sangat mendorong agar Rudhy melanjut, sang abang T.J. Simarmata pun rupanya turut pula berjuang mewujudkan tekad Rudhy untuk tetap dapat berangkat ke pulau Jawa.
Jadilah Rudhy berangkat tetapi dengan suasana hati yang sesungguhnya tak menentu arah, sebab sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di kota terbesar yang menjadi Ibukota Negara Indonesia, Jakarta. Terbayanglah olehnya bagaimana sebelumnya ia mengalami goncangan kejiwan tatkala berubah habitat dari suasana pedesaan di Pulau Samosir ke suasana perkotaan di Pematang Siantar tatkala memasuki bangku SMEP. Kemudian, terbayang pula goncangan kedua ketika melanjutkan pendidikan dari SMEP ke SMEA, atau dari suasana perkotaan di Pematang Siantar ke suasana perkotaan yang lebih ramai dan kompleks di kota Medan. Kini, Rudhy harus mempersiapkan diri lagi untuk menghadapi goncangan kejiwaaan tahap yang ketiga di Ibukota Jakarta, yang orang-orang katakan sekejam-kejamnya ibutiri lebih kejam ibukota.
Memang akhirnya Rudhy hanya sekilas saja menikmati suasana kota Jakarta. Ia dari Jakarta berangkat menuju kota Yogyakarta Rudhy menggunakan kereta api malam. Begitu esok paginya tiba Rudhy segera mencari tempat kost, berbeda sekali dengan teman-temannya yang sama-sama berangkat dari Medan yang mencari penginapan di hotel. Kendati hotel yang mereka tempati sederhana tetapi dalam tempo waktu satu bulan saja mereka sudah mulai mengalami kesulitan keuangan.
Rudhy mempunyai kiat tersendiri mencari tempat kost di Yogyakarta, yaitu dengan bertanya dimana alamat asrama orang-orang Batak di sana. Salah seorang pria Batak yang bekerja di Hotel Garuda di Jalan Malioboro yang kebetulan ditemuinya, memberi saran agar Rudhy mencarinya ke Jalan Baciro.
Setelah tahap pertama yakni bermukim di kota Gudeg Yogyakarta dirasakan aman, barulah esoknya Rudhy mendaftarkan diri ke UGM. Tetapi sayang sekali kehadiran Rudhy yang untuk pertama kalinya ke Kampus Bulaksumur masih diliputi suasana kegagalan. Ia dinyatakan belum bisa diterima keliuah di UGM. Kondisi ini lalu disiasatinya dengan mendaftarkan diri kuliah ke Universitas Sanata Dharma, juga di Yogyakata, mengambil jurusan Ilmu Ekonomi.
Setahun saja kuliah di Sanata Dharma, pada tahun 1960 Rudhy kembali mendaftar masuk dan berhasil diterima di Universitas Gadjah Mada, yang perkuliahannya dimulainya kembali dari tahap awal yaitu tingkat Candidat-I (CI).
Setahun kemudian pada saat menginjak bangku kuliah di tingkat Candidat-II, kepada Rudhy datang lagilah sepucuk surat dari kampung halaman yang isinya berita duka menyebutkan Sang Ayahanda, Sudung Bulan Simarmata telah meninggal dunia.
Peristiwa ini sama persis dengan kematian Ibunda terdahulu saat Rudhy sedang menginjak bangku sekolah kelas dua di SMEP Negeri Pematang Siantar dimana jasad Ibunda tak sempat disaksikannya. Kali ini alasan abangnya untuk tak memberitahu kematian Ayahanda juga sama, supaya ketenangan Rudhy dalam belajar tak terganggu.
Tiba pada cerita mengenai kematian Ayahanda saya melihat mata Rudhy mulai sedikit berkaca-kaca. Mukanya lantas menunduk dan suaranya pun dihentikan. Rudhy kemudian terlihat menarik gagang kacamatanya, melepaskanya dari muka yang mulai sembab. Nafasnya sedikit tersengal sementara hidungnya seolah menahan diri dari isakan tangis. Iapun mengeluarkan saputangan untuk menyegarkan muka dan pemandangannya dari suasana duka yang ada di pikirannya.
Saya jadi turut terharu dibuatnya. Segera saja saya mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Kali ini dia berubah menjadi pendengar atas cerita-cerita saya mengenai aneka lika-liku profesi kewartawanan, yang sudah belasan tahun saya jalani. Saya tahu, cerita saya itu tak terlalu menarik baginya sebab saya sudah lebih terbiasa menulis daripada berorasi. Apalagi cerita saya ini kukarang dalam tempo singkat saja, demi menyiasati kegalauan hatinya yang terkenang masa lalu. ***
B A B II
KUKUH DI PENTAS NASIONAL
1.Bukan Oleh “Torop Partubu”
Lama setelah mengikuti seminar pembangunan kelautan di Gedung Dewan Pers, Jakarta, saya bertemu kembali dengan Rudhy U Simarmata kali ini di kantornya selaku Ketua Badan Pelaksana Harian Universitas Mpu Tantular (BPH-UMT), di Jalan Cipinang Besar No. 2, Jakarta Timur.
Komunikasi melalui telepon seluler, demi memelihara hubungan silaturahmi, tetap kami jalankan selama ini. Sesekali dalam kesempatan tertentu kami bisa juga ketemu sebentar, apakah itu di acara seminar-seminar nasional mengenai perkembangan dunia pendidikan tinggi swasta, seminar mengenai adat batak dan perkembangan gereja, maupun di acara-acara adat Batak.
Tetapi pertemuan kali ini akan kami fokuskan untuk kembali meneruskan cerita mengenai peta perjalanan kehidupan Rudhy U Simarmata selaku anak petani dari Pulau Samosir, yang lantas berkesempatan berkiprah di pentas nasional setelah mengalami pencerahan melalui dunia pendidikan tinggi. Cerita dia ini nantinya akan kutuliskan ke dalam sebuah buku biografi, untuk menandai ucapan syukurnya bagaimana Tuhan mengijinkannya berusia hingga 70 tahun.
Sekalipun Rudhy yang saya temui kali ini, sesuai kata sahabatnya dari Lemhannas tetaplah berpenampilan rapi, bicara tegas dan lugas namun sangat bersahabat, serta bagaikan durian kulitnya berduri tetapi bila dibuka isinya putih bersih semua dan manis, namun ingatan saya tempo hari tak mudah kulupakan.
Masih saja terngiang-ngiang betapa dia sangat merasa kehilangan begitu mengetahui Ayahanda Sudung Bulan Simarmata Gelar Ompu Mangasal Doli telah berpulang, dan tak sempat pulang menyaksikan untuk terakhir kali jasad sosok yang selama ini menjadi sumber inspirasi kearifan bagi Rudhy. Beban duka itu seolah menjadi berlipat kali ganda rasanya, sebab hal yang sama persis terjadi sebelumnya ketika Ibunda Saturlan br Situngkir Gelar Ompu Mangasal Boru berpulang. Keduanya menghadap Tuhan ketika Rudhy sedang di perantauan menuntut ilmu.
Karenanya saya masih sangat berhati-hati sekali membuka topic pembicaraan. Saya harus terlebih dahulu mengamati sedang dimana posisi tingkat emosionalnya kali ini.
“Saya kemungkinan besar selama awal September 2008 nanti akan berada di Sipoholon, Tarutung, meliput langsung pesta demokrasi terbesar di lingkungan Huria Kristen Batak Protestan, HKBP, untuk pemilihan lima pucuk pimpinan HKBP” ucapku sekenanya, untuk memecah kebekuan yang masih menggelayut setidaknya di alam pikiran saya.
Resep itu rupanya cukup mengena. Ia menanggapi penjelasanku mengapa saya harus berangkat ke sana, dengan saksama. “Kalau ketemu dengan Pendeta WTP Simarmata, Sekjen HKBP, sampaikan salam saya padanya,” kata dia. “Saya dengar dia turut mencalonkan diri menjadi calon Ephorus HKBP periode 2008-2012,” balasnya.
“Betul,” jawabku. “Jika Tuhan mengijinkan, peluang dia untuk terpilih besar sekali, sebab dialah yang selama 10 tahun terakhir ini, selama menjabat sebagai Sekjen HKBP berhasil memelihara terus rekonsiliasi di tubuh HKBP,” kataku lagi.
“Tetapi untuk Anda tahu saja, orang Batak itu sangat konservatif sehingga justru lebih besar peluang Ephorus yang sekarang, Pendeta Doktor Bonar Napitupulu untuk kembali terpilih. Dan lagi, para sinodestan yang tahun 2004 lalu memilih Bonar pasti akan merasa bersalah dalam memilih, apabila pilihannya yang kemarin itu tak berkesempatan untuk memimpin selama dua periode. Lagi-lagi ini hanya terkait dengan masalah konservatisme yang mengakar di tubuh orang Batak,” jelas Simarmata, sangat rasional. Padahal, yang saya amati, dia sesungguhnya tak dapat menyembunyikan perasaan bangganya ada teman semarga, yang asli pula berasal dari Samosir, berkesempatan untuk mencoba maju menjadi pucuk pimpinan tertinggi di HKBP, sebuah pintu gerbang yang kemungkinan bisa membuka jalan yang lebih luas menuju ke pentas nasional hingga dunia di bidang kerohanian.
Rudhy sangat ingin WTP Simarmata yang berasal dari marga saudara tua orang Batak, itu dapat terpilih namun ia tak lupa untuk bersikap realistis. “WTP dia masih muda, jadi masih ada banyak kesempatan baginya untuk berkiprah. Sehingga, pernah suatu ketika saya sarankan kepadanya untuk melengkapi diri dengan ilmu yang paripurna, misalnya dengan mengambil doktor,” susul Rudhy, yang dalam system kekerabatan semarga dipanggil Bapauda oleh WTP.
“Kalaupun dia belum saatnya terpilih di HKBP, mungkin ada baiknya WTP mencari kemungkinan lain untuk terlebih dahulu menjadi pimpinan di organisasi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI. Sebab, saat ini dia sudah menjadi ketuanya untuk wilayah PGI Sumatera Utara,” ucapku lagi.
“Itu ide yang baik. Sampaikan pulalah itu padanya mudah-mudahan berkenan. Sepulang dari sana nanti kita ketemu lagi, supaya kita bisa bicara lebih leluasa dan panjang lebar mengenai kemajuan HKBP di berbagai bidang,” kata Rudhy Simarmata.
*****
Menjelang memasuki kuliah tingkat tiga di Universitas Gadjah Mada (UGM), atau sebelum meraih titel Sarjana Muda Rudhy U Simarmata mulai terjun menjadi aktivis gerakan mahasiswa ekstra universiter. Pilihannya jatuh kepada Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI yang mengusung ideologi marhaenisme, serta berjiwa progresif revolusioner pada saat itu.
Pilihan itu tidak semata-mata didasari oleh kecintaan dia kepada figur tokoh pejuang revolusioner yaitu Bung Karno, yang ide marhaenismenya dijadikan sebagai filosofi dasar GMNI. Tetapi, juga karena pilihan GMNI untuk menjadi sebuah gerakan bagi para kaum nasionalis muda.
Sebagai nasionalis muda yang sangat mencintai bangsa dan negaranya, Rudhy berpandangan Indonesia yang sangat majemuk hanya bisa dipersatukan oleh satu jiwa kebangsaan yang sama. Sebaliknya, Rudhy juga menilai hanya oleh karena satu jiwa kebangsaan yang samalah yang telah terbukti berhasil menyatukan bangsa Indonesia yang majemuk, hingga akhirnya dicapailah Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Karena itu, manakala suatu ketika kelak di masa-masa yang akan datang masih memungkinkan terjadi gesekan diantara para anak bangsa, semacam revolusi sosial, atau kerusuhan massal, Rudhy merasa tak perlu khawatir menghadapinya sebab pasti ada saudara-saudaranya yang sesama nasionalis walau berbeda suku dan agama tetapi dapat diandalkan dan dijadikan sebagai penjaga jaminan keselamatan utuhnya suatu bangsa. Rudhy tak perlu takut dan tak akan gentar menghadapi sebesar apapun gejolak sosial yang mungkin terjadi, sebab dianggapnya itu persoalan yang biasa timbul diantara sesama saudara sebangsa dan setanah air.
Pada masa itu, selain GMNI terdapat pula organisasi ekstra universiter lain yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) keduanya organisasi mahasiswa ekstra kampus yang juga cukup berpengaruh. Awalnya di GMNI Rudhy hanya ikut-ikutan saja. Itupun masih sebatas berpartisipasi dalam kegiatan keolahragaan.
Tetapi ketika gelar Sarjana Muda sudah hampir di depan mata Rudhy mulai meningkatkan intensitas gerakan politiknya. Ia semakin bangga bergerak di GMNI, sebab ternyata dia satu angkatan dengan Guntur Soekarnoputra, putra sulung “Sang Bapak Nasionalis Indonesia”, Bung Karno. Dalam catatannya dia juga seangkatan dengan Taufik Kiemas, suami mantan presiden Megawati Soekarnoputri yang juga putrid sulung Bung Karno. Kegemaran Rudhy membaca koran pada masa mahasiswa itu membuatnya tahu, bahwa setiap aktivis GMNI dikenal pula pejuang-pemikir sekaligus pemikir-pejuang, sebagaimana yang dicita-citakan oleh Ruslan Abdulgani seorang tokoh senior GMNI.
Setahun menjadi aktivis GMNI Rudhy kemudian dipercaya menjadi Ketua Panitia Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPA, pada tahun 1963, sebuah ajang pengkaderan paling dasar dan yang pertamakalinya bagi setiap mahasiswa calon anggota. Tak ada satu orangpun angota GMNI yang tidak melalui proses PPAB. Di sinilah setiap calon anggota dikader, diperkenalkan ide-ide dan filosofi perjuangan kemahasiswaan GMNI. Mulai dari pembekalan informasi apa itu GMNI, upaya persuasif supaya calon bersedia menerima ide-ide dan filosofi perjuangan organisasi, hingga mengarah ke propaganda, agitasi, dan indoktrinasi semua dilakukan pada saat PPAB yang biasanya berlangsung beberapa hari.
Karena itu bisa ditebak keterlibatan Rudhy di GMNI bukan lagi sekedar ikut-ikutan. Dari Ketua PPAB dia lantas dipercaya naik menjadi Ketua GMNI Komisariat UGM. Dia menjadi semakin menyatu saja dengan ide-ide marhaenisme. Penyerapannya akan buah pemikiran Ruslan Abdulgani tadi, bahwa setiap mahasiswa aktivis GMNI adalah pejuang-pemikir sekaligus pemikir-pejuang, dielaborasinya untuk kemudian dicetuskannya kepada sesama teman aktivis lainnya.
Aktivitas Rudhy yang intens memperkenalkan jargon GMNI sebagai pejuang-pemikir dan pemikir-pejuang, membuat banyak orang menjadi tergerak masuk GMNI sebagai calon-calon nasionalis muda. Nama Rudhy pun mulai disorot dan semakin disorot, hingga akhirnya setelah dua tahun terjun menjadi aktivis diapun terpilih menjadi Ketua DPC GMNI Yogyakarta.
Aktivitas politik kemahasiwaan yang didalami Rudhy tak sedikitpun mengurangi porsi akademiknya di kampus. Rudhy berhasil meraih gelar BA-nya setelah selama sebulan penuh mengadakan kuliah kerja nyata (KKN) ke daerah Blora, Jawa Tengah. Di sini Rudhy memperoleh pengalaman baru yang lebih luas, yaitu tentang perbedaan kehidupan masyarakat di desanya yang miskin dan terkungkung di Pulau Samosir sana, dengan kehidupan masyarakat desa di Blora.
Pada masa itu memperoleh gelar Sarjana Muda atau BA sudah tergolong bergengsi, karena memang pemerintah mengakuinya sebagai sebuah gelar. Setelah meraih gelar BA rasa percaya diri Rudhy mulai terpupuk untuk semakin giat berkiprah di tingkat nasional, walau masih sebatas menjadi aktivis gerakan mahasiswa. Di jaman “revolusi” itu jargon “politik adalah panglima” memang bergema kemana-mana. Aktivitas gerakan Rudhy semakin intens. Ia mulai terlibat menjadi anggota Dewan Mahasiswa di kampus, menjadi Komandan Resimen Mahasiswa Yogyakarta (Mahakarta), dan sebagainya. Di tingkat nasional nama Rudhy diutus mewakili Yogyakarta untuk mengikuti proses pengkaderan Kader Inti Pembina Jiwa Revolusi.
2.Mutiara di Atas Lumpur
Suasana revolusioner begitu mendominasi alam pikir bangsa Indonesia, termasuk mahasiswa ketika Rudhy sedang menuntut ilmu di UGM Yogyakarta. Oleh setiap pimpinan perguruan tinggi mahasiswa memang diperbolekan untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan yang disukai. Semua dianggap legal.
Sejumlah organisasi kemahasiswaan yang berpengaruh di Yogyakarta ketika itu adalah GMNI, HMI, CGMI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo). Organisasi yang paling disiplin pada saat itu adalah CGMI, tetapi terdapat dua organisasi yang paling memiliki kekuatan yaitu GMNI dan HMI.
Pada awal tahun 1964-an antara kelompok GMNI, HMI, PMII, GMKI dan PMKRI di satu sisi, selalu terlihat jor-joran manakala berhadap-hadapan secara diametral dengan CGMI dan Germindo yang berada di sisi yang lain. Apakah itu untuk rebutan pengaruh di Dewan Mahasiswa, maupun di berbagai akivitas sosial kemasyarakatan lainnya.
Polarisasi kekuatan politik kemahasiswaan yang sedemikian rupa memberikan kenangan tersendiri yang menarik bagi Rudhy, sebab ada berkah-berkah terselubung yang bisa diraihnya.
Misalnya, ketika itu pada tahun 1964, Front Nasional Yogyakarta yang diketuai oleh Walikota Yogyakarta, dan sekretarisnya berasal dari PNI/Front Marhaenis, berencana membentuk sebuah kepanitiaan peringatan wafatnya Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII di Yogyakarta. Untuk memimpin kepanitiaan itu terjadilah rebutan pengaruh antara GMNI, GMKI, dan PMKRI di satu pihak, dengan CGMI dan Germindo di pihak lain. Banyak mahasiswa orang Batak aktivis CGMI dan Germindo yang berambisi menjadi ketua panitia. Tetapi Front Nasional Yogyakarta justru member wewenang kepada Rudhy U Simarmata dari GMNI untuk menunjuk siapa yang akan menjadi Ketua Panitia.
Seolah ingin melakukan napak tilas akan peristiwa yang berlangsung pada tahun 1964 tersebut, masyarakat kaum nasionalis Yogyakarta pada 16 Juni 1987 secara khusus menggelar lagi peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, dengan bertajukkan “Seminar Kebudayaan Batak Menelusuri Kepahlawanan Sisingamangaraja Ke-XII”, dimana Rudhy U Simarmata datang dari Jakarta didaulat secara khusus untuk tampil sebagai salah seorang pemrasaran.
Selama menjadi mahasiswa, yang kebetulan berlangsung menjelang penghujung era pemerintahan Presiden Soekarno, Rudhy berkesempatan memperoleh berbagai pengetahuan dan pengalaman politik, sesuatu yang tanpa disadarinya sangat begitu berguna di kemudian hari kelak tatkala sudah mengabdi di tengah-tengah masyarakat. Sebagai mahasiswa Rudhy memperoleh beragam pengkaderan baik di tingkat daerah maupun pusat.
Sebagai kader dari kaum muda nasionalis kepada Rudhy diperkenalkan berbagai sejarah perjuangan para pendiri bangsa, hingga semakin mengentalkan wawasan kebangsaan anak petani yang hanya berasal dari sebuah desa terpencil di Pulau Samosir. Yang tak akan pernah bisa terlupakan oleh Rudhy adalah kesempatan kepergiannya ke Jakarta untuk mengikuti Kader Inti Pembina Jiwa Revolusi secara nasional, dimana Rudhy merupakan satu-satunya utusan dari Provinsi Yogyakarta sebab masing-masing provinsi hanya diwakili oleh satu orang.
Pada peristiwa yang terjadi menjelang Rudhy menyelesaikan kuliah itu dia dapat merasakan betul bagaimana ketatnya penjagaan keamanan di sekeliling gedung pertemuan, tempat dimana sekarang berdiri Hotel Grand Hyatt, terutama sewaktu Letjen TNI Ahmad Yani hadir memberikan pembekalan, berlangsung di depan gedung Hotel Indonesia yang sekarang menjadi Hotel Grand Indonesia. Demikian pula ketika tiba giliran Jenderal TNI Abdul Haris Nasution memberikan perkuliahan.
Selain pengalaman yang tak akan dapat terlupakan, mengikuti Kader Inti Pembina Jiwa Revolusi juga menambah wawasan politiknya sebab Rudhy menerima penjabaran mengenai isi buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Bung Karno. Ia juga pernah menerima pembekalan tentang Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi), yang juga ditujukan kepada seluruh Bupati yang ada di seluruh Provinsi Yogyakarta.
Masih pada pertengahan tahun 1964 itu, Rudhy U Simarmata juga mengalami sebuah peristiwa yang tak akan pernah terlupakan, yang disebut-sebut sebagai peritiwa “Marhaen Menang”. Ketika itu semua organisasi underbouw Partai Nasional Indonesia (PNI), yang biasa dikenal sebagai Front Marhaenis baik itu organisasi tani, nelayan, buruh, dan mahasiswa berencana mau mengadakan longmarch dari Yogyakarta-Solo-Klaten, dan yang akan memberangkatkan seluruh peserta adalah Ketua Cabang PNI Yogyakarta.
Baik ketika berangkat maupun saat kembalinya massa peserta longmarch, mereka sambil berjalan kaki tak henti-hentinya bernyanyi bersama. Dan kalau rombongan berpapasan dengan bus umum spontan peserta meneriakkan kata “Marhaen” sebagai jargon, yang lalu biasanya (harus) dibalas dengan kata “Menang”.
Demikianlah seterusnya berlangsung, selama perjalanan, hingga pada suatu ketika dalam perjalanan pulang peserta berpapasan lagi dengan sebuah bus umum yang lantas spontan diteriakkan kata “Marhaen”. Tetapi jawaban yang diperoleh kali ini bukan sebagaimana mestinya, yaitu “Menang”, melainkan di luar itu dan dalam nada yang kurang sopan pula. Dalam keadaan marah dan naik pitam massa peserta longmarch memaksa menghentikan bis, dan mencari siapa gerangan yang barusan berlaku tidak sopan.
Mereka memaksa semua penumpang untuk menunjukkan siapa orang yang paling dicar-cari itu, yang ternyata adalah seorang alat negara. Oknum tentara tadi kemudian diseret keluar sambil dipukuli, disaksikan oleh sang istri yang juga turut berada dalam bus yang terus-terusan meratap menangis. Setelah puas dipukuli si oknum tadi kemudian dibawa massa ke rumah sakit untuk diobati.
Massa peserta longmarch akhirnya berhasil tiba di kota Yogyakarta sekitar pukul 19.00, dan kedatangannya diterima secara resmi oleh Ketua PNI Yogyakarta bersama-sama dengan Rudhy U Simarmata selaku Ketua DPC GMNI Yogyakarta, berlangsung di halaman DPRD Yogyakarta. Begitu menerima laporan rombongan dibubarkan, untuk kemudian seluruh peserta kembali ke kediaman masing-masing.
Tetapi begitu tiba di rumah Rudhy memperoleh berita bahwa banyak anggotanya peserta longmarch ditangkapi oleh anggota TNI Angkatan Darat. Beberapa truk berisikan anggota TNI Angkatan Darat yang berasal dari Jawa Tengah, itu rupanya sedang mengadakan patroli keliling Yogyakarta dan tugasnya adalah menginterogasi setiap orang yang ditemukan sedang berkumpul lebih dari tiga orang. Cara tentara menginterogasi massa untuk mencari sasaran mudah sekali. Mereka tinggal menyebut kata “Marhaen”, maka jika orang-orang yang sedang berkumpul itu menjawab “Menang” mereka langsung ditangkapi, dipukuli, dan diseret.
Untuk diketahui, Kodam Diponegoro saat itu dipimpin oleh Mayor Jenderal TNI Sumpeno S selaku Panglima Kodam, sedangkan Komandan Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta dipimpin oleh Kolonel TNI Katamso selaku Komandan Korem.
Peristiwa penangkapan berlangsung selama seminggu penuh, membuat tak ada pemuda Yogyakarta yang berani berkumpul lebih dari tiga orang pada saat itu. Untuk menghindari situasi yang lebih buruk pada hari kedua Rudhy dan beberapa tokoh marhaen lainnya sudah tak lagi menginap di rumahnya masing-masing. Mereka sudah diungsikan ke rumah Walikota Yogyakarta, yang difasilitasi langsung oleh Kolonel Katamso. Di rumah walikota itu pulalah diadakan inventarisasi, sudah berapa orang kaum nasionalis yang dipukuli dan ditangkapi.
Barulah setelah diadakan pertemuan antara Panglima Kodam Diponegoro Jawa Tengah dengan Muspida Yogyakarta, semua tentara yang melakukan penangkapan ditarik dari seluruh wilayah Yogyakarta. Longmarch yang diadakan Rudhy memang berlangsung pada situasi dimana antara tahun 1963-1966 suhu politik secara nasional sangat panas, terutama diantara partai-partai politik. Bahkan terasakan sekali ada kecenderungan Presiden Soekarno memberikan angin kepada PKI, karena partai yang didirikannya sendiri yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) sudah dianggapnya kurang progresif revolusioner.
Rudhy juga pada akhirnya mengetahui bahwa selama perjalanan longmarch antara Yogyakarta-Klaten dan Klaten-Yogyakarta tersebut, rombongan selalu mendapat lemparan-lemparan batu ketika sedang melewati kompleks perumahan TNI Angkatan Udara (AURI), kawasan yang memang harus dilalui oleh seluruh peserta longmarch. Pasca peristiwa pengkhianatan Gerakan 30 September 1965 memang menjadi bisa diketahui, bahwa oknum-oknum AURI cenderung memihak kepada PKI.
Dan tentang oknum tentara yang memberikan jawaban tidak semestinya ketika diteriakkan jargon “Marhaen”, yang membuat oknum itu dipukuli hingga memicu penangkapan-penangkapan kaum nasionalis oleh aparat TNI Angkatan Darat dari Kodam Diponegoro, itu rupanya merupakan anggota sebuah batalion yang baru saja pulang dari tugas Negara ke Kongo, Afrika. Jadi, sangat bisa dimaklumi manakala dia tak mengerti harus memberikan jawaban “Menang” ketika kepadanya disodori kata “Marhaen”.
Keberanian Kolonel Katamso mengungsikan Rudhy dan kawan-kawan sesama kaum nasionalis dari Front Marhaen, ke rumah kediaman Walikota Yogyakarta menunjukkan tingginya rasa nasionalisme pahlawan revolusi itu, yang turut gugur sebagai kusuma bangsa pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 di wilayah Yogyakarta. Rudhy pun tak kuasa untuk tak menitikkan air mata menangis tatkala mengetahui Katamso meninggal dan dikebumikan sebagai pahlawan revolusi.
Rudhy sendiri dipercaya memimpin sebagai Ketua DPC GMNI Yogyakarta, pada saat cabang ini sedang menghadapi masalah yang paling radikal, dimana orang-orang menilai bahwa DPC GMNI Yogyakarta dianggap sebagai GMNI kiri yang berhaluan ke Ali Surachman. Memang, GMNI Yogyakarta yang sedang dipimpin Rudhy tergolong sebagai cabang yang sangat dibanggakan oleh Bung Karno pada saat itu, sampai-sampai dituduh pula sebagai cabang yang paling dekat dengan PKI padahal tidak.
Rudhy sebagai Ketua Cabang GMNI Yogyakarta memang sangat tegas dalam memimpin, terlebih dengan keberaniannya saat itu unntuk menyebutkan bahwa Indonesia bukan Moscow dan juga bukan Washington, sebab yang diperjuangkan oleh GMNI dan seluruh Front Marhaenis adalah ideologi marhaenisme.
Apabila semua orang Batak yang bermukim di Yogyakarta tak bisa menyembunyikan keterkejutan pertamanya, bahwa ada seorang putra Batak dan berasal dari Pulau Samosir yang berhasil terpilih sebagai Ketua Cabang GMNI Yogyakarta, mereka selanjutnya masih merasakan keterkejutan kedua dan berbagai keterkejutan lainnya mengingat berbagai peristiwa yang menyertai perjalanan kepemimpinan Rudhy di Yogyakarta.
3. Gelar Sarjana Tiket Menikah
Sekalipun sibuk berorganisasi, hingga berhasil menancapkan pengaruh di pentas nasional politik kemahasiswaan, Rudhy sama sekali tak pernah melupakan misi sucinya berangkat ke Kota “Gudeg” Yogyakarta yaitu untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi, sebagai sebuah cara baru untuk melakukan mobilitas sosial.
Target utama dia saat itu adalah meraih gelar sarjana sebagai “tiket” untuk dapat meminang sang pujaan hati, R. Dameria Manullang, untuk dijadikan istri. Apabila sudah selesai kuliah berarti Rudhy akan secepatnya dapat bertemu dengan sang pacar di Jakarta. Sesungguhnya, sang pacar masih duduk di bangku kelas 3 SMP ketika berkenalan dengan Rudhy yang sudah menyelesaikan kuliah tingkat Candidat I saat itu, dan sedang mempersiapkan diri menuju Candidat II.
Cerita perkenalan Rudhy dengan Dameria Manullang sangat unik. Pada tahun pertama kuliah di Yogya Rudhy kost dengan tiga orang Batak yang baru dikenalnya di perantauan. Salah seorang teman kostnya itu, marga Sinambela, seringkali menerima surat dari seorang gadis yang rupanya adalah anak abangnya. Gadis itu diketahuinya masih duduk di bangku kelas 3 SMP, tinggalnya di Medan. Tetapi bagaimanapun, sebagai anak muda yang berdarah segar, begitu melihat ada sebuah foto dalam lampiran surat sahabatnya Rudhy dan dua teman lainnya lantas penasaran serta ingin berkenalan dengan gadis itu melalui surat.
Mereka kemudian musyawarah dan setuju menentukan bahwa siapapun diperkenankan mengirim surat berkenalan kepada si gadis. Tetapi surat siapa yang pertama kali mendapatkan jawaban, maka hanya dialah yang boleh meneruskan perkenalan selanjutnya.
Demikianlah yang terjadi hari berganti hari, minggu berganti minggu, hingga sudah sebulan lebih tak satu pun surat yang berbalas sampai nyaris terlupakan segalanya. Hingga pada suatu waktu datanglah sepucuk surat yang dialamatkan kepada Rudhy. Tetapi Rudhy tak kenal sama sekali bentuk tulisan si pengirim. Tetapi setelah dibacanya isinya, dengan perasaan penuh gembira diberitahukanlah kepada ketiga sahabatnya termasuk kepada udanya Sinambela, bahwa Rudhylah sang pemenang dan berhak meneruskan persahabatan dengan si gadis.
Dameria Manullang karena sangat ingin meneruskan cita-cita menjadi perawat, pindahlah ke Jakarta. Akan tetapi selama di Jakarta, karena masih dalam proses pendidikan, Rudhy hanya pernah dapat menemuinya di tahun 1961. Itupun dengan pengawasan yang sangat ketat dari Ibu Asrama, yang terletak di Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat. Praktis, sebelum Rudhy menyelesaikan pendidikan sarjana hanya pernah dua kali bertemu dengan Dameria. Barulah pada tahun 1965 Rudhy pindah dan menetap di Jakarta, dan diterima bekerja di Departemen Perkebunan.
Itulah mungkin yang namanya rahasia jodoh. Setelah berkenalan tahun 1961 Rudhy dan Dameria kemudian menikah pada tahun 1966, tepatnya pada tanggal 31 Maret di HKBP Petojo, Jakarta Barat. Karena dorongan calon istri inilah Rudhy berhasil menyelesaikan kuliah dalam tempo 3,5 tahun tanpa mengesampingkan tugas-tugas dan tanggungjawab keorganisasian di DPC GMNI Yogyakarta.
Rudhy tak ingin terulang kejadian lama, dimana pada koridor waktu selama lima tahun keduanya bergaul hanya sesekali tepatnya dua kali
3. Gelar Sarjana Tiket Menikah
Sekalipun sibuk berorganisasi, hingga berhasil menancapkan pengaruh di pentas nasional politik kemahasiswaan, Rudhy sama sekali tak pernah melupakan misi sucinya berangkat ke Kota “Gudeg” Yogyakarta yaitu untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi, sebagai sebuah cara baru untuk melakukan mobilitas sosial.
Target utama dia saat itu adalah meraih gelar sarjana sebagai “tiket” untuk dapat meminang sang pujaan hati, R. Dameria Manullang, untuk dijadikan istri. Apabila sudah selesai kuliah berarti Rudhy akan secepatnya dapat bertemu dengan sang pacar di Jakarta. Sesungguhnya, sang pacar masih duduk di bangku kelas 3 SMP ketika berkenalan dengan Rudhy yang sudah menyelesaikan kuliah tingkat Candidat I saat itu, dan sedang mempersiapkan diri menuju Candidat II.
Cerita perkenalan Rudhy dengan Dameria Manullang sangat unik. Pada tahun pertama kuliah di Yogya Rudhy kost dengan tiga orang Batak yang baru dikenalnya di perantauan. Salah seorang teman kostnya itu, marga Sinambela, seringkali menerima surat dari seorang gadis yang rupanya adalah anak abangnya. Gadis itu diketahuinya masih duduk di bangku kelas 3 SMP, tinggalnya di Medan. Tetapi bagaimanapun, sebagai anak muda yang berdarah segar, begitu melihat ada sebuah foto dalam lampiran surat sahabatnya Rudhy dan dua teman lainnya lantas penasaran serta ingin berkenalan dengan gadis itu melalui surat.
Mereka kemudian musyawarah dan setuju menentukan bahwa siapapun diperkenankan mengirim surat berkenalan kepada si gadis. Tetapi surat siapa yang pertama kali mendapatkan jawaban, maka hanya dialah yang boleh meneruskan perkenalan selanjutnya.
Demikianlah yang terjadi hari berganti hari, minggu berganti minggu, hingga sudah sebulan lebih tak satu pun surat yang berbalas sampai nyaris terlupakan segalanya. Hingga pada suatu waktu datanglah sepucuk surat yang dialamatkan kepada Rudhy. Tetapi Rudhy tak kenal sama sekali bentuk tulisan si pengirim. Tetapi setelah dibacanya isinya, dengan perasaan penuh gembira diberitahukanlah kepada ketiga sahabatnya termasuk kepada udanya Sinambela, bahwa Rudhylah sang pemenang dan berhak meneruskan persahabatan dengan si gadis.
Dameria Manullang karena sangat ingin meneruskan cita-cita menjadi perawat, pindahlah ke Jakarta. Akan tetapi selama di Jakarta, karena masih dalam proses pendidikan, Rudhy hanya pernah dapat menemuinya di tahun 1961. Itupun dengan pengawasan yang sangat ketat dari Ibu Asrama, yang terletak di Jalan Cik Di Tiro, Jakarta Pusat. Praktis, sebelum Rudhy menyelesaikan pendidikan sarjana hanya pernah dua kali bertemu dengan Dameria. Barulah pada tahun 1965 Rudhy pindah dan menetap di Jakarta, dan diterima bekerja di Departemen Perkebunan.
Itulah mungkin yang namanya rahasia jodoh. Setelah berkenalan tahun 1961 Rudhy dan Dameria kemudian menikah pada tahun 1966, tepatnya pada tanggal 31 Maret di HKBP Petojo, Jakarta Barat. Karena dorongan calon istri inilah Rudhy berhasil menyelesaikan kuliah dalam tempo 3,5 tahun tanpa mengesampingkan tugas-tugas dan tanggungjawab keorganisasian di DPC GMNI Yogyakarta.
Rudhy tak ingin terulang kejadian lama, dimana pada koridor waktu selama lima tahun keduanya bergaul hanya sesekali tepatnya dua kali saja berkesempatan datang ke Jakarta menemui sang pacar. Karena itulah setelah setahun dinyatakan lulus sebagai Sarjana Muda, dan berhak menyandang title BA, kepada Dekan Fakultas Rudhy minta supaya secepatnya dapat melakukan penelitian di Sumatera Utara, dan untuk selanjutnya nantinya menyusun skripsi. Setelah mengajukan berbagai alasan, sekalipun masih ada mata kuliah yang belum diselesaikan Dekan Fakultas akhirnya memberikan Rudhy persetujuan untuk mengadakan riset di salah satu perusahaan Negara sebuah pabrik kertas yang terletak di Pematang Siantar.
Setelah tiga bulan melakukan penelitian Rudhy akhirnya berhasil menyusun skripsi, yang diberinya judul “Penyelidikan Empiris Tentang Peranan Organisasi Buruh Dalam Memperlancar Serta Mempertinggi dan Memperbesar Hasil Produksi di P.N. Kertas Pematang Siantar Daswati III Simalungun, Sumatera Utara”.
Rudhy berhasil mempertahankan skripsinya dalam sebuah sidang yang digelar pada tanggal 3 Juni 1965, dan pada hari itu ditetapkan serta dinyatakanlah Rudhy telah lulus sebagai Sarjana. Di ijazah ada tambahan kata-kata yang menyebutkan, bahwa Rudhy dapat langsung menjadi Doktor setelah membuat dan mempertahankan Disertasi. Akan tetapi mengingat kesibukan baru yang mendera, serta memperhatikan amanat orangtua sebelumnya, ditambah keinginan dari calon istri, Rudhy langsung saja berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dan tentu saja, ingin secepatnya ketemu dengan gadis yang lama dirindu-rindukan.
Pada waktu Rudhy memasuki Jakarta Juli 1965 keadaan Ibukota Negara sudah sangat “panas” oleh partai-partai, terutama oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menganggap dirinya paling revolusioner. Presiden Soekarno pada waktu itu memang sangat memberi angin kepada PKI. Tujuan Bung Karno agar ide dia mempersatukan kaum revolusioner, serta mempertahankan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai sebuah kekuatan fundamental untuk menghadapi rongrongan neo-kolonialisme (Nekolim).
Tetapi PKI malah beranggapan bahwa Nasakom berarti semua potensi dalam masyarakat termasuk jumlah anggota kabinet dan perusahaan-perusahaan Negara, itu harus mendapat kedudukan yang sama yaitu Nasionalis sepertiga, Agamais sepertiga, dan Komunis sepertiga. Padahal, menurut Rudhy, Bung Karno mengartikan Nasakom sesungguhnya merupakan pola perjuangan menyejahterakan masyarakat dan rakyat Indonesia yang harus berjiwa nasionalis, mempunyai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan ada pemerataan kesejahteraan supaya jangan terjadi kepincangan yang menonjol antara yang paling kaya dengan yang paling miskin.
*****
Sepulang dari liputan ke Sipoholon, Tarutung berlangsung antara 1-7 September 2008, saya memenuhi janji untuk sesegera mungkin menceritakan segala peristiwa dan laporan pandangan mata saya kepada Rudhy U Simarmata sewaktu meliput Sinode Godang HKBP ke-59.
Sebelum saya bertemu kembali dengannya, tentu, sebagian besar warga Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) termasuk Rudhy sesungguhnya sudah mengetahui siapa-siapa fungsionaris yang terpilih menjadi pucuk pimpinan HKBP, serta nama-nama ke-26 praeses yang akan menggembalakan sekitar enam juta warga HKBP selama periode 2008-2012.
Media massa terbitan Sumatera Utara setiap hari menurunkan berita sinode tersebut, terlebih suratkabar harian dimana saya bekerja yang begitu intens memberitakan liputan langsung saya dari arena sinode. “Pendeta WTP Simarmata itu rupanya masih kurang memperoleh suara mayoritas pemilih untuk tampil memimpin HKBP,” ujar Rudhy U Simamata, begitu saya menjelaskan panjang lebar proses terpilihnya Ephorus Pendeta Doktor Bonar Napitupulu dalam sebuah pemilihan yang penuh dramatis, sampai-sampai air mata haru terlihat terkucur perlahan di pelipis mata Pendeta Doktor Bonar Napitupulu ketika ia dinyatakan terpilih.
Sebagaimana pula dengan dugaan kami sebelumnya, Pendeta Bonar memang masih mempunyai dukungan yang sangat kuat di kalangan sinodisten. Sekalipun Pendeta WTP Simarmata dikenal sebagai pendeta yang visioner, yang mengusung isu-isu pembaharuan secara menyeluruh, dan sepertinya sudah “ditabalkan” pula sebagai penjaga rekonsiliasi di tubuh HKBP untuk tetap utuh terpelihara sebagai satu tubuh Kristus selama 10 tahun terakhir ia menjabat sebagai Sekjen HKBP, rupanya Tuhan berkehendak masih belum saatnya kini bagi WTP untuk tampil memimpin HKBP.
Sekalipun Pendeta WTP Simarmata belum berhasil naik ke posisi puncak, sesungguhnya nama dia sudah dianggap sebagai asset yang sangat berharga khususnya bagi seluruh marga Simarmata. (Tentu saja, juga bagi seluruh orang Batak sesungguhnya). Terbukti begitu terpilih menjadi Sekjen HKBP pada tahun 1998, kepada WTP Simarmata atas nama Keluarga Besar Simarmata di Jakarta segera saja disematkan sebuah ulos sebagai tanda pengharapan sekaligus penghargaan atas pengabdian WTP di ladang Tuhan.
“Tetapi yang kurang menggembirakan,” kataku melanjutkan, “Ketika itu, menjelang detik-detik pemilihan di arena sinode sempat muncul isu dikotomis antara Samosir dan Toba, yang tentu saja isu itu terbukti menjadi sangat melemahkan posisi WTP. Sebab wilayah Samosir hanya satu distrik dalam struktur kepengurusan HKBP, pastinya tak akan sanggup menghadapi Toba yang terdiri banyak distrik,” kataku.
Akan tetapi menurut majalah Kristen “Narwastu” edisi November 2008, yang terbit di Jakarta, bahwa sebetulnya sejumlah jemaat HKBP menganggap WTP Simarmata yang pantas menjadi Ephorus HKBP, karena pengalaman cukup, pemikirannya sangat maju dalam melihat persoalan-persoalan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa. Bahkan, Ketua Umum DPP Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Cornelius D Ronowidjojo, mengatakan, WTP Simarmata amat layak menjadi pimpinan dari PGI Pusat.
“Dengan berbagai trik yang menyertai setiap proses pemilihan pucuk pimpinan HKBP selama ini, yang sudah sangat mirip dengan proses pilkada yang sangat duniawi itu, saya dalam berbagai kesempatan di gereja sudah sering mengatakan HKBP sudah tak lagi sepatutnya menyebut diri sebagai gareja na boloni,” kata Rudhy akhirnya.
Pernyataan Rudhy bahwa HKBP sudah tak sepatutnya lagi menyebut diri sebagai gareja naboloni, tentu, tak dimaksudkannya untuk turut berpolitik praktis di dalamnya. Sebab di usianya yang kini sudah senja Rudhy akhir-akhir ini sudah lebih banyak melakukan pendekatan semata-mata kepada Tuhan saja dengan bergiat di kelompok kategorial Lanjut Usia (Lansia) di Gereja HKBP Tebet, tempatnya selama ini beribadah. Di usia senjanya ini pula Rudhy bersama istri R. Dameria br. Manullang berkesempatan melakukan perjalanan spiritual ke Mesir hingga Israel.
Tetapi manakala bicara soal kontribusi dia terhadap HKBP, khususnya HKBP Tebet, semua warga jemaat di sana setidaknya pernah merasakan adalah setitik sumbangsihnya. Yaitu, tatkala HKBP Tebet sedang merenovasi gedung gereja untuk menjadi semegah dan semewah seperti yang bisa disaksikan sekarang ini. Ketika itu Rudhy U Simarmata yang sedang menjabat sebagai Rektor UMT dan yang menawarkan agar aula Universitas Mpu Tantular (UMT) dapat digunakan sebagai pengganti tempat peribadatan sementara. Jadi, ketika itu, kendati bergereja di sebuah aula jemaat tak merasa seolah mengalami “pembuangan” sebagai ulangan sejarah bangsa Israel yang terbuang ke Babel.
*****
B A B III
TEGUH MEMEGANG PRINSIP
1.Mendengar Janji Manis
Kiprah politik kemahasiswaan Rudhy U Simarmata yang pernah terpilih menjadi Ketua DPC GMNI Yogyakarta, masih menyisakan sepenggal cerita menarik tatkala Rudhy sudah mulai hijrah ke Jakarta pada Juli 1965, tepatnya setelah sebelumnya pada 3 Juni 1965 dinyatakan lulus sebagai sarjana dan berhak menyandang gelar doktorandus.
Ketika sedang menjabat Ketua DPC GMNI Yogyakarta itu, pada suatu ketika mantan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dikabarkan akan mengunjungi Yogyakarta. Tetapi sebelumnya Ali akan terlebih dahulu mampir ke kota Solo. Nah, ketika sudah berada di Solo, untuk menuju Yogyakarta sejumlah mahasiswa Yogyakarta di bawah kepemimpinan Rudhy diminta untuk datang menjemput sang mantan PM. Rudhy pun bersama kawan-kawan segera meluncur. Tak dinyana di pertengahan tahun 1965 itu kota Solo rupanya sedang gawat-gawatnya, dan resmi dinyatakan sebagai daerah rawan.
Sinyalemen itu terbuktikan ketika iring-iringan rombongan mantan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, dibawah kawalan sekelompok mahasiswa pimpinan Rudhy hendak melewati sebuah putaran jalan di tengah kota Solo terlihat terdapat banyak orang-orang berpakaian serta hitam. Persis sebelum rombongan mantan Perdana Menteri Ali melewati putaran tersebut, Rudhy terlebih dahulu melakukan proses sterilisasi dengan mendatangi langsung gerombolan berpakaian serba hitam tersebut. Pakaian serba hitam mereka ternyata dibalut jaket kalajengking, yang menunjukkan identitas mereka sebagai anggota Pemuda Rakyat dan CGMI.
Usai mengenali mereka Rudhy kembali menemui rombongan dan berbicara langsung dengan Ali. Dengan singkat Rudhy mengatakan agar mantan PM Ali jangan dulu lewat, sebelum gerombolan berpakaian serba hitam tadi selesai dibereskan alias diusir dari situ. Ali setuju saja dengan mengangguk sambil mengamati dengan saksama bagaimana kepiawaian putra Batak asal Samosir ini membaca situasi genting dan paling aktual.
Gerombolan itupun berhasil diusir. Rombongan dapat tiba dengan selamat di Yogyakarta, berhenti di depan Gedung DPRD Yogyakarta, untuk selanjutnya berkumpul di Istana Negara yang ada di Yogyakarta. Dalam perbincangan yang kemudian digelar di situ Ali kembali menyinggung soal peristiwa yang sempat terjadi di Solo, dan bertanya siapa yang berbicara kepadanya untuk mengingatkan jangan melewati sebuah putaran yang sedang dikuasai oleh sebuah gerombolan berpakaian serba hitam. Rudhy pun mengacungkan tangan, “Saya, Pak,” ujarnya mantap.
“Kenapa kamu bilang, kita tidak bisa lewat pada waktu itu,” susul Ali,. “Karena saya lihat, Pak, banyak mahasiswa di depan, yang rupanya jaket mereka bukan jaket PNI, tetapi jaket PKI,” jelas Rudhy. “Oh, begitu,” Ali mulai paham akan situasi yang terjadi mengiringi perjalanan rombongannya tadi.
“Siapa kamu, dari mana asalmu” Ketua PNI Ali mulai menyelidiki kepribadian Rudhy, yang menurutnya sangat begitu menonjol diantara mahasiswa-mahasiswa lainnya. Rudhy kemudian menyebutkan namanya, serta asalnya yang dari Pulau Samosir. “Oh, orang Batak ya,” kata Ali.
Pada saat itulah Selamat Ginting, salah seorang tokoh nasionalis yang sedang menjabat sebagai Ketua Departemen Organisasi DPP PNI, sekaligus juga pengagum Bung Karno dan sudah memiliki beragam kiprah di tingkat nasional, menarik Rudhy untuk berbincang-bincang sejenak. Ginting juga semakin menyelidiki status kemahasiswaan Rudhy, yang sebentar lagi akan lulus sebagai seorang sarjana. Selamat Ginting lantas menjanjikan, bila kelak nanti lulus dan tiba di Jakarta Rudhy akan segera dipekerjakan di salah satu departemen di tempat mana saja yang Rudhy sukai.
Begitu Rudhy hijrah dan bermukim di Jakarta janji Selamat Ginting tadi tentu saja terngiang-ngiang terus di kuping, apalagi disampaikan di hadapan seorang mantan Perdana Menteri bernama Ali Sastroamidjojo yang juga Ketua Umum DPP PNI. Janji itu juga akan menjadi ibarat pucuk dicinta ulampun tiba, sebab hubungan Rudhy dengan calon istri sudah semakin baik terlebih setelah keduanya kini bermukim di sebuah kota yang sama, Jakarta, yang memungkinkan mereka menjadi sangat intens untuk segera merencanakan pernikahan.
Bahkan, karena janji manis itu pula Rudhy menjadi menolak rencana sang calon istri untuk menjalankan tugas ikatan dinas sebagai perawat. Sebab Rudhy bermaksud, bila kelak sudah menjadi istrinya Dameria Manullang tak perlu lagi bekerja selain mengurus anak-anak, atau semata-mata berada di rumah saja. Sekalipun Rudhy memahami betul perjuangan calon istrinya menempuh pendidikan tenaga keperawatan, hingga harus hijrah dari Medan ke Jakarta, dan tahu pasti pula bahwa kehidupan di Ibukota Jakarta begitu pahit, Rudhy tetap saja bersikeras melarang Dameria bekerja di rumahsakit dengan konsekuensi kelak tak akan memperoleh hak pensiun sebagai tenaga perawat.
Keduanya pun sepakat untuk menikah dan mengadakan pesta perkawinan dengan upacara adat penuh pada tanggal 31 Maret 1966, berlangsung di Balai Prajurit, di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Rudhy tak akan pernah bisa melupakan saa-saat menentukan pernikahannya itu, tetapi lebih disebabkan oleh dua kendala yang dihadapinya pada saat itu. Yaitu, pertama, kumpulan marga Simarmata yang akan mengorganisir upacara adat belum terbentuk di Jakarta, serta kedua, keluarga terdekat Rudhy dari marga Simarmata tak ada yang bisa ditemukannya di Jakarta. Kalaupun akhirnya ada satu dua marga Simarmata yang berhasil diketahui berada di Jakarta, mereka masih hidup dalam kondisi yang sangat sederhana dalam hal penguasaan masalah adat, sehingga agak mustahil untuk dimintai tolong.
Untung saja keluarga calon mertua dapat memahami kendala yang dihadapi Rudhy, sehingga pada saat pelaksanaan upacara adat lebih banyak mendatangkan keluarga besar Parna, atau Parsadaan Raja Naiambaton se Jakarta Raya. Kepedulian calon mertua untuk bisa memahami serta menerima keberadaan Rudhy apa adanya memberikan kebahagiaan tersendiri yang tiada tara bagi Rudhy, sehingga upacara adat bisa terselenggara dengan baik. Upacara pemberkatan pernikahannya sendiri berlangsung di Gereja HKBP Petojo, Grogol, Jakarta Barat dipimpin oleh Pendeta Dr PWT Simanjuntak, yang dikemudian hari terpilih menjadi pucuk pimpinan HKBP, atau sebagai Ephorus pada periode tahun 1992-1998.
2.Bertemu Menteri Perkebunan
Rudhy sendiri akhirnya sudah mulai melupakan janji-janji manis soal pekerjaan di departemen, yang pernah disampaikan oleh salah seorang petinggi partai dan di hadapan seorang mantan perdana menteri pula. Rudhy sebenarnya sangat mengetahui bahwa di awal-awal kelulusannya pun sudah terjadi berbagai gejolak di pemerintahan, yang terbukti meledak dalam sebuah pemberontakan G30S/PKI terjadi pada tanggal 30 September 1965 malam lima orang perwira tinggi TNI Angkatan Darat serta satu perwira pertama diculik dan dibunuh oleh PKI dan antek-anteknya di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Peristiwa pengkhianatan oleh PKI, yang sehari kemudian dimaknai sebagai Hari Kesaktian Pancasila, karena ideologi Pancasila tetap mampu bertahan hidup kendati hendak digantikan dengan ideologi komunis oleh PKI, rupanya turut melibatkan sebagian unsur-unsur PNI di dalamnya, termasuk melibatkan Sekjen PNI pada waktu itu, Ir Surachman.
Dengan kondisi demikian itulah harapan dan janji yang pernah disampaikan oleh Selamat Ginting menjadi sudah tidak memungkinkan lagi untuk direspon. Sikap ini berubah menjadi sebuah prinsip. Artinya, sama sekali sudah tak memungkinkan berharap kepada janji Selamat Ginting, mengingat keterlibatan Sekjen PNI Ir Surachman ke dalam rencana besar PKI. Ini memberikan arti lain, bahwa ada oknum PNI tersangkut pemberontakan PKI tersebut.
Karena itulah Rudhy kemudian mendatangi Departemen Perkebunan yang saat itu sedang dipimpin oleh Drs. Frans Seda, seorang anak bangsa yang nasionalis tulen asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada masa itu, setiap pelamar pekerjaan yang bergelar sarjana masih harus datang langsung dan dapat bertemu muka dengan menterinya. Melalui Sekretaris Menteri Perkebunan Rudhy dapat bertemu dengan Frans Seda, dan setelah melalui wawancara dinyatakan Rudhy akan ditempatkan di Biro Kerjasama Luar Negeri, Departemen Perkebunan, berkantor di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, sebuah gedung yang sekarang digunakan sebagai kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Belum sampai setahun diangkat menjadi pegawai negeri sipil, yang ditempatkan di Biro Kerjasama Luar Negeri, Departemen Perkebunan, Rudhy diangkat menjadi pejabat eselon empat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pendidikan Dalam dan Luar Negeri, termasuk diantaranya mengurusi Atase Perkebunan Republik Indonesia yang terdapat di tiga tempat di luar negeri. Dari ketiga atase itu hanya satu yang dibayar Pemerintah RI melalui APBN, yaitu atase yang di Roma, sedangkan yang De Haag dibayar oleh komoditi tembakau, dan atase di Jepang dibayar oleh komoditi ikan.
Pada tahun 1973 Rudhy kembali mengalami promosi jabatan diangkat menjadi eselon tiga. Tetapi, justru ketika sudah menjadi eselon tiga itulah Departemen Perkebunan dilebur ke dalam Departemen Pertanian, dan status institusi ini diturunkan menjadi setingkat direktorat jenderal namanya Direktorat Jenderal Perkebunan, dan nama Mayor Jenderal Moeloek Loebis dipercaya menjadi Dirjen Perkebunan. Sejak saat itu Rudhy pun ikut dipindahkan ke Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian.
Selama menjadi pejabat di Departemen Perkebunan, maupun sesudahnya di Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian, sejumlah peluang yang memungkinkan Rudhy untuk berlabuh menjadi orang besar di republik ini sesungguhnya pernah tersedia di depan mata. Tetapi, mungkin karena sudah karakter dirinya sebagai orang Samosir, ditambah keimanan yang kuat untuk semata-mata hanya bersandar kepada kehendak dan rencana Tuhan Yang Maha Kuasa saja, Rudhy tak pernah silau dengan apa-apa kemewahan dan kemegahan yang pernah ditawarkan oleh dunia tersebut.
Pilihan keimanan yang demikian di satu sisi membuat Rudhy hidup sederhana apa adanya tanpa berkelimpahan harta, kehormatan dan jabatan. Tetapi di sisi lain mampu menenteramkan hati dan pikiran Rudhy, membuat hidupnya menjadi seolah tanpa beban sebab mengalir indah begitu saja seturut kehendak Tuhan, dan tubuh ini rasanya selalu ringan untuk melangkah. Sepertinya tiada musuh di depan mata, tetapi selalu ada keinginan untuk menambah sahabat, yang walau sudah ribuan jumlahnya tetapi masih tetap terasa kurang.
Rudhypun dimana saja dan kapan saja serta dengan siapa saja menjadi dapat kukuh menjalankan prinsip-prinsip kebenaran yang diyakininya memang benar, demi menuju sasaran hidup atau goal yang menurutnya sudah merupakan langkah maksimal yang dapat diberikannya kepada kehidupan ini, semisal prinsip hidup untuk selalu melakukan pembinaan.
Bahwa Rudhy sesungguhnya sudah punya nama besar yang didasarkan aktivitas politik kemahasiswaannya semasa kuliah di Yogyakarta, diantaranya terpilih menjadi Ketua DPC GMNI Yogyakarta, nyaris membuahkan hasil yang luar biasa besar jika saja jadi terlaksana.
Ketika itu Martono salah seorang Ketua Kosgoro, yang menjadi salah satu induk organisasi pendiri Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) di era awal pendirian Orde Baru, sedang mencari-cari figur yang pas untuk ditempatkan menjadi Sekjen Perkabi, sebuah organisasi buruh bentukan Kosgoro. Martono yang di kemudian hari oleh Presiden Soeharto diangkat menjadi Menteri Transmigrasi, lantas mendiskusikannya dengan Soeprapto, mantan Sekjen GMNI Cabang Yogyakarta yang kemudian berkiprah di Kosgoro. Soeprapto memang berasal dari Yogyakarta, tetapi lebih dahulu bermukim di Jakarta.
Keduanya kemudian sepakat untuk mendaulat nama Rudhy U Simarmata, mantan Ketua DPC GMNI Yogyakarta untuk ditempatkan sebagai Sekjen Perkabi. Dan Martono sendirilah yang ditugaskan untuk menemui langsung Rudhy, meminta kesediaan duduk menjadi Sekjen Perkabi Kosgoro.
Tetapi itulah jalan Tuhan, mungkin pula lebih tepat sebagai nasib yang memang hanya Tuhan yang bisa menggariskan. Dengan alasan tertentu Rudhy menolak diangkat menjadi Sekjen Perkabi. Padahal, seandainya saja tawaran yang sudah di depan mata itu diiyakan bukan mustahil nama Rudhy U Simarmata akan masuk dalam daftar hafalan anak-anak sekolah sebagai tokoh yang pernah duduk sebagai menteri di era Ode Baru.
Tetapi sebaliknya, dalam perkembangan yang lain, mengingat jiwa kepemimpinan dan semangat patriotisme yang masih begitu mengental dalam dada, ketika pada tahun 1967 Rudhy didaulat menjadi Ketua Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) di perkebunan, ia malah tak bisa menolaknya. Dalam kondisi Jakarta yang masih curiga-mencurigai diantara sesama potensi Orde Baru ketika itu, setelah setahun diterima menjadi pegawai perkebunan Rudhy berkenan menerima penunjukan teman-temannya sesama aktivis marhaenis asal Yogyakarta, yang kini sudah bermukim di Jakarta, untuk menjadi Ketua KBM. Sekalipun dengan rasa terpaksa Rudhy mau menerimanya, karena didorong oleh jiwa keorganisasian yang masih kuat melekat pada kepribadiannya saat itu.
Organisasi Kesatuan Buruh Marhaenis yang dipimpin Rudhy sesungguhnya tak pernah dibubarkan secara resmi, tetapi seolah menjadi bubar sendiri setelah salah seorang penasehatnya ditangkap di tahun 1968 karena dituduh PKI. Roda organisasi menjadi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Rudhy tak bisa memungkiri bahwa kini ia bergerak di bidang perkebunan yang merupakan bidang teknis. Hal itu terutama dipengaruhi oleh kebijakan Presiden Soeharto, dan perubahan-perubahan kabinet termasuk dileburnya Departemen Perkebunan ke Departemen Pertanian, sehingga nama kelembagaan yang kemudian dikenal adalah Ditjen Perkebunan, Ditjen Kehutanan, Ditjen Perikanan, Ditjen Peternakan, dan Ditjen Pertanian.
Atmosfir pekerjaan Rudhy pun mulai berubah menjadi teknis. Setelah eselonnya dinaikkan menjadi eselon tiga, berkali-kali Rudhy mengalami rotasi kepindahan direktorat walau semuanya masih tetap di bawah Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian RI. Selama berkarier sebagai birokrat di perkebunan Rudhy banyak dipercaya menangani hal-hal yang non teknis, seperti menjadi Ketua Koperasi Pegawai Negeri Perkebunan, serta melakukan penggalangan-penggalangan politik untuk Golongan Karya pada masa itu.
Sebagai anggota pegawai negeri sipil (PNS), dan menjadi anggota Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri) pula, sudah pada galibnya bila pada masa itu seluruh anggota PNS diwajibkan untuk ikut mensukseskan Pemilu, sejak berlangsung Pemilu Tahun 1971 pemilu pertama di era Orde Baru. Untuk maksud tersebutlah beberapa pejabat secara khusus harus aktif mengadakan penggalangan untuk mendukung pemerintah, dan satu-satunya yang menjadi kendaraan politik pemerintah adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Menjelang Pemilu 1971, melalui Departemen Penerangan RI nama Rudhy U Simarmata dan beberapa pejabat lain di Departemen Perkebunan telah mengikuti santiaji untuk siap diterjunkan ke seluruh pelosok tanah air. Kebetulan pulalah nama Rudhy bersama Drs Amiruddin Lubis, waktu itu menjabat sebagai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Departemen Dalam Negeri, sebelum diangkat menjadi Walikota Tebing Tinggi Deli, hingga akhirnya pensiun sebagai Asisten II Gubernur Sumatera Utara, ditugaskan terjun ke wilayah Sumatera Utara. Tujuan mereka adalah untuk memenangkan Orde Baru di setiap pemilihan umum.
Demikianlah seterusnya selama pemerintahan Orde Baru berkuasa 32 tahun, penggalangan terhadap PNS dan seluruh anggota keluarganya tetap berjalan baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah dengan cara memberikan fasilitas.
Tetapi sebagaimana dimaklumi, PNS di Departemen Pertanian pada umumnya adalah kaum nasionalis dan condong kepada PNI pula. Karena itulah sejak masih bernama Departemen Perkebunan, maupun setelah perkebunan, perikanan, dan kehutanan bergabung melebur menjadi Departemen Pertanian, dalam setiap Pemilu partai PNI atau PDI selalu saja memperoleh suara yang signifikan. Karena itu pulalah, sepertinya seloroh saja ini, selalu saja ada tuduhan yang dialamatkan kepada Rudhy dan kawan-kawan bahwa penggalangan yang dilakukannya lebih memihak kepada golongan nasionalis, daripada kepada Golongan Karya.
Selain menjadi PNS yang aktif melakukan penggalangan untuk mendukung pemerintah, selama tahun 1985 hingga 1995 Rudhy U Simarmata diangkat pula menjadi Ketua Koperasi Pegawai Negeri Ditjen Perkebunan, seperti disebutkan di atas, dengan tugas utama melayani para pegawai negeri sipil dan keluarganya di berbagai bidang pertokoan bahan-bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Rudhy mematok harga penjualan kebutuhan pokok itu selalu di bawah harga pasar, dan dapat pula diangsur dari gaji.
Disamping itu, setiap pegawai negeri juga dapat meminjam uang di Koperasi dalam jumlah batas-batas tertentu misalnya untuk keperluan melahirkan, membayar uang sekolah anak, atau menambah usaha yang pembayarannya lagi-lagi dapat dipotong dari gaji.
Di sisi lain Koperasi Pegawai Negeri Ditjen Perkebunan juga diperkenankan untuk mengelola dan menjual alat-alat pertanian, serta mengelola Kebun Pengaur di daerah Jasinga, Bogor, seluas 30 hektar. Sebelumnya, kebun ini juga menjadi tempat tanaman percontohan kebun karet dan kebon kelapa. Akan tetapi karena dinilai kurang berfungsi optimal, oleh Ditjen Perkebunan di kebun ini diusahakanlah tanaman coklat untuk seluruh areal, dengan menempatkan beberapa tenaga untuk mengelola dengan pengawasan dari Koperasi Pegawai Negeri Ditjen Perkebunan.
Sejak dipercaya memimpin proyek perlindungan tanaman perkebunan pada tahun 1985, Rudhy antara lain berkesempatan mengadakan studi banding untuk memperdalam ilmu pengetahuan pengelolaan dan pengawasan tentang penggunaan obat-obatan terhadap perkebunan, seperti ke Australia. Di Australia Rudhy menyaksikan perkembangan komoditi kapas, serta penggunaan dan pengawasan obat seperti pestisida dan lain-lain. Studi banding yang sama diadakan pula ke Amerika Serikat dan Inggris.
Selaku birokrat di Ditjen Perkebunan Rudhy juga berkesempatan mengadakan ceramah-ceramah, lokakarya, dan seminar-seminar perihal pengelolaan proyek-proyek perkebunan. Bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, Sulawesi Selatan, Rudhy mengadakan lokakarya dan pembinaan administrasi proyek-proyek perkebunan, khususnya Proyek Perlindungan Tanaman Perkebunan Seluruh Indonesia dimana Rudhy bertindak pula sebagai instruktur.
Selain di Unhas, Rudhy juga mengadakan lokakarya dan pembinaan administrasi di daerah-daerah lain di seluruh provinsi di Indonesia. Untuk wilayah Sumatera Utara dan Aceh, misalnya, pelaksanaan lokakarya dan pembinaan administrasi proyek-proyek perkebunan yang berlangsung selama tiga bulan, dipusatkan di Medan. Sementara untuk wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dilaksanakan di Lampung. Sedangkan kegiatan yang sama untuk wilayah Jawa diadakan di Bogor dan di Surabaya (Jawa Timur), dan untuk wilayah Indonesia Bagian Timur diadakan di Ujung Pandang.
Sebagai pekerja keras yang teguh memegang prinsip Rudhy U Simarmata tak lupa untuk membekali diri dengan mengikuti berbagai kursus serta pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan tugas teknis dan administrasi. Tak ketinggalan pula Rudhy mengikuti Sekolah Staf dan Administrasi Nasional (Sespanas) yang diadakan Lembaga Administrasi Negara (LAN), sebuah tingkatan sekolah administrasi Negara yang tertinggi bagi setiap pejabat Negara, berlangsung tahun 1985.
Selengkapnya, pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti Rudhy adalah, Kursus Penjenjangan Pembina, di Bogor (1971), Latihan Sistem Pengendalian Proyek-Proyek Pembangunan, di Jakarta (1977), Pendidikan Pengembangan Keterampilan Advokat Peradilan, di Jakarta (1982), Pendidikan dan Latihan Petugas Skrining, di Jakarta (1983), Kursus Manajemen Audit, di Jakarta (1985), Sekolah Staf dan Pimpinan Nasional (SESPA-NAS), di Jakarta (1985), Penataran Kewaspadaan Nasional (TARPADNAS), di Jakarta (1986), Studi Banding ke Australia, AS, dan Inggris (1987), serta Kursus Pimpinan PTSI-Lemhannas, di Jakarta (1997).
Setelah mengabdi sebagai pegawai negeri sipil selama 30 tahun, maupun setelahnya, sejumlah penghargaan pernah disematkan kepada Rudhy. Antara lain, pada tahun 1970 menerima Piaga Penghargaandari Menteri Penerangan RI, Piagam Penghargaan dari MPR RI Jakarta (1988), Piagam Penghargaan dari Departemen Pertanian RI, di Jakarta (1994), Satya Lencana Karya dari Presiden RI, di Jakarta (1994), serta penghagaan sebagai Eksekutif Terbaik Tahun 1997 dari Yayasan Cipta Karya Pembangunan.
3. Turut Mendirikan UMT
Ketika masih berada di puncak kesibukan sebagai pejabat eselon tiga di Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, sebuah tawaran menarik sepertinya tiba-tiba saja teronggok di meja kerja Rudhy U Simarmata, yaitu mendirikan sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di Jakarta.
Tawaran dilayangkan oleh Kanjeng Pangeran Tarnama Sinambela, sosok pria Batak asal Narumonda yang sudah sangat lama dikenal sebagai pendiri Yayasan Pendidikan Budi Murni, yang antara lain berpengalaman dalam mengelola puluhan sekolah mulai TK, SD SMP, SLTA, hingga akademi.
Atasan Rudhy ketika itu, Dirjen Perkebunan, sesungguhnya melarangnya untuk merangkap menjabat di luar kegiatan kantor. Tetapi ketika disodori alasan aktivitas barunya kelak direncanakan hanya dimaksudkan untuk menambah-nambah biaya, permintaan Rudhy untuk “nyambi” akhirnya disetujui.
Pendirian Universitas Mpu Tantular bermula pada bulan Maret tahun 1983, tatkala Rudhy U Simarmata dan sejumlah tokoh pendidikan lainnya diajak oleh Kanjeng Pangeran Tarnama Sinambela untuk berdialog, yang lalu diakhiri dengan kesepakatan untuk menyiapkan sebuah rencana besar mendirikan sebuah perguruan tinggi swasta. Rudhy adalah salah seorang tokoh yang turut dimintakan kesediaan untuk secara serius terlibat membantu mewujudkan cita-cita mulia “Sang Pangeran”.
Sejak Maret 1983 hingga April 1984 proses persiapan pendirian perguruan tinggi pun berjalan sesuai dengan tahapan-tahapannya. Rudhy antara lain aktif bergiat menyusun rancangan kurikulum fakultas-fakultas. Tujuh pengggagaspendirian UMT yang diajak Kanjeng Pangeran berdiskusi itu, adalah Dr MO Tambunan, Gde Jaksa SH (Hakim Agung), Drs W. Silalahi, Drs Daud Sirait, Drs. Janudin, Drs A Sihotang, Drs Rudhy U Simarmata, dan Drs L Tobing,
Segera setelah Rudhy terlibat dalam setiap perencanaan, maka mulailah disusun segala sesuatunya untuk maksud mendirikan suatu institusi, yang lalu dibuatlah namanya Universitas Mpu Tantular dengan pendirian awal terdiri empat fakultas. Setelah kurikulum dan segala sesuatunya dipersiapkan, diterimalah sebanyak 350 orang mahasiswa angkatan pertama.
Kemudian keseluruhan program akademik kampus mulai berjalan terus sebagaimana mestinya, diselingi dengan beragam pahit getirnya pengalaman dalam mengurus berbagai perijinan. Untuk pertamakali nama Prof Dr W.B. Sijabat ditentukan menjadi Rektor UMT.
Di kampus itu Rudhy U Simarmata pada mula pendiriannya diangkat menjadi Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Mpu Tantular (UMT) pada tahun 1984-1992, yang lalu berlanjut menjadi Pembantu Rektor II Bidang Administrasi Keuangan pada tahun 1992-1996. Dan dalam pemilihan Rektor nama Rudhy akhirnya berhasil terpilih untuk memimpin sebagai Rektor Universitas Mpu Tantukar Jakarta untuk periode tahun 1996-2000.
Pada saat Rudhy diangkat menjadi Rektor UMT banyak masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang sedang terjadi di tanah air, dan semuanya menonjol hingga terangkat ke permukaan karena melibatkan unsur mahasiswa di dalamnya. Isu yang paling menonjol adalah meningkatnya dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan kroni-kroni Presiden Soeharto, terutama dengan semakin merajalelanya kerajaan bisnis putra-putri Pak Harto ketika itu.
Pada sisi lain sudah semakin sulit pula untuk mencari anggota Kabinet yang mampu memberikan saran yang baik kepada Presiden untuk menjawab berbagai isu dan tuduhan mengenai tindakan para kroni dan anak-anak Pak Harto. Dimana-mana di seluruh Indonesia mulai muncul berbagai gejolak, seperti demonstrasi yang dilakukan oleh anggota masyarakat bersama-sama dengan para mahasiswa.
Demonstrasi yang terjadi di Ibukota Negara Jakarta difokuskan di Gedung MPR/DPR RI, dan di lingkungan Istana Presiden. Setiap harinya para demonstran bergerak dari segala penjuru Jakarta, untuk kemudian berkumpul di kampus Universitas Atma Jaya di Jalan Sudirman, atau di kampus Universitas Trisaksi, Grogol, untuk berorasi menyampaikan berbagai tuntutan mereka di bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Bergejolaknya aksi unjuk rasa mahasiswa di Gedung MPR/DPR turut diramaikan oleh mahasiswa UMT binaan Rudhy U Simarmata, yang begitu heroik memanjat gedung demi mengibarkan bendera UMT dan pesan-pesan politik mahasiswa UMT. Gerakan mahasiswa Jakarta yang puncaknya berlangsung sekitar Mei 1998, berujung pada tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti sebagai Pahlawan Reformasi.
Yang agaknya perlu dicatat mahasiswa UMT turut berperan mempercepat tumbangnya rejim penguasa yang sudah bertahta selama 32 tahun. Keterlibatan dan peran mereka memang bukanlah terletak pada sisi kuantitas. Melainkan pada keberanian mereka untuk menancapkan spanduk raksasa UMT di puncak Gedung MPR/DPR RI, sehingga semua media cetak, televisi, dan portal berita di internet berkenan memasang foto pemajangan spanduk raksasa UMT tadi. Mahasiswa-mahasiswa UMT begitu energik memperjuangkan kejatuhan Orde Baru.
Rudhy mengakui setelah bergiat di kegiatan kampus dirinya seolah terlahirkan kembali dalam posisi serta status yang menguntungkan sebagai manusia yang sesungguhnya. Posisi sebagai Rektor memungkinkan Rudhy untuk juga bergiat di berbagai organisasi perguruan tinggi swasta, mewakili UMT, semisal di Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Asosiasi BP-PTSI), dan di Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), hingga di Forum Rektor.
Sekalipun hanya seorang sarjana, tetapi di kampus dan di berbagai organisasi dimaksud Rudhy nyatanya bisa dipercaya untuk memimpin para kolega dan anak yang secara akademis sudah menyandang gelar professor, doktor, master, dan sebagainya.
Karena kepiawaian berorganisasi, sebagai buah dari aktivitas pergerakan organisasi kemahasiswaan sebelumnya di UGM Yogyakarta, Rudhy merasakan dirinya sangat dihormati oleh para kolega sekalipun oleh mereka yang bergelar segudang tadi.
Rudhy menjadi kukuh pada prinsip awal sebelumnya, bahwa dia sesungguhnya tidaklah begitu jauh dengan mereka-mereka. Terlebih tatkala Rudhy dipercaya untuk memimpin Forum Rektor, berlangsung di Universitas Satya Negara Indonesia, rasa bangganya sebagai anak seorang petani dari sebuah desa miskin di Samosir sangat tinggi sekali saat itu.
Selain ada kebanggaan tersendiri di Forum Rektor, bersama PTS lain UMT diterima pula bekerjasama dengan Sekretariat Dewan Pertahanan Keamanan Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden, untuk mengadakan seminar-seminar dengan Wanhankamnas. Pada waktu inilah Rudhy sampai tiga kali diangkat menjadi Ketua Sub Komisi di Wanhankamnas. Setelah menjadi Anggota Komisi bidang Pancasila, Rudhy kemudian dipercaya menjadi Ketua Sub Komisi Mengenai Pembauran, lalu Ketua Sub Komisi Bidang Koperasi dan Kewirausahaan, serta Ketua Sub Komisi Bidang Pengalihan Saham/Modal kepada Koperasi. Semuanya memberikan kebanggaan tersendiri buat Rudhy.
Termasuk satu hal lain yang paling membanggakan hati Rudhy adalah, ketika sedang duduk sebagai Rektor Universitas Mpu Tantular ia bersama-sama dengan Pangdam Jaya Mayor Jenderal TNI Djadja Soeparman melantik pengurus dosen kewiraan se Wilayah DKI Jakarta, berlangsung di Kampus UMT pada 2-3 September 1998.
Di Aptisi Wilayah III DKI Jakarta, selain menjadi pengurus, Rudhy aktif pula mengikuti berbagai kegiatan yang digelar. Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) adalah organisasi profesi yang beranggotakan seluruh Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BP-PTSI) di seluruh Indonesia, berkedudukan di Jakarta.
Pendirian Aptisi ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BM-PTSI) ke-IV, diselenggarakan di Jakarta pada tangga 1-3 Maret 1999. Dalam MUNAS tersebut diputuskan untuk mengubah nama organisasi yang dahulunya berbentuk ’Badan Musyawarah’, menjadi organisasi baru yang berbentuk Asosiasi dengan nama’ Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia’ dan disingkat APTISI.
Dengan demikian APTISI adalah organisasi baru yang secara historis mempunyai misi dan tujuan yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan tujuan organisasi BM-PTSI yang didirikan pada tahun 1984 di Jakarta. Fungsi dan tugas Aptisi adalah menjembatani perguruan tinggi swasta (PTS) dengan Menteri Pendidikan Nasional, yang menurut para pengelola PTS mereka kurang diperhatikan oleh pemerintah.
Pada pemilihan pengurus Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) untuk tingkat DKI Jakarta tahun 1996-2000, UMT mencalonkan dua orang menjadi calon pengurus yaitu Ketua Yayasan Pendidikan Budi Murni, dan Rektor UMT. Hebatnya, nama keduanya berhasil terpilih menjadi Wakil Ketua.
Selanjutnya pada pemilihan pengurus periode tahun 2000-2004 nama Rudhy U Simarmata lagi-lagi kembali terpilih sebagai Wakil Ketua Aptisi DKI Jakarta. Demikian pula pada pemilihan pengurus periode 2004-2008 Rudhy masih terpilih lagi menjadi Wakil Ketua APTISI wilayah Jakarta.
Khusus pada periode tahun 2000-2004 Rudhy kadang-kadang tampil mewakili Ketua pada rapat-rapat Forum Rektor, maupun pada rapat-rapat APTISI Pusat di daerah karena Ketua APTISI DKI Jakarta, Prof. DR. Ir. Muhamadi S. (Rektor Universitas Muhamadiyah Jakarta) bertugas pula sebagai anggota DPR mewakil PAN. Sehingga setiap kali melaksanakan seminar, lokakarya, dan lain sebagainya yang rutin tiap bulan diadakan, baik itu bersifat nasional maupun daerah, Rudhy selalu berfungsi sebagai penanggung jawab harian.
Pengurus PTSI Wilayah mengadakan pengembangan anggota PTSI, baik di bidang Akademik, Kelembagaan, dan Usaha-usaha, baik itu melalui Seminar-seminar, Lokakarya, Temukarya, maupun pertemuan-pertemuan. Secara periodik para anggota pengurus mengadakan kunjungan ke PTS-PTS binaan, untuk menciptakan dinamika pengembangan pendidikan.
Aptisi antara lain berperan membina di bidang kurikulum, mutu tenaga akademik, organisasi dan administrasi anggota, kemahasiswaan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Disamping itu PTS Wilayah mengadakan pula pembenahan organisasi/ kelembagaan, dan penyelenggaraan setiap kegiatan selama 4 tahun dengan bidang-bidang tugas Peningkatan Mutu PTS, Peningkatan SDM, Bidang Ilmu Pengetahuan dan teknologi, penelitian dan pengembangan, bidang hubungan dalam negeri dan antar Wilayah, bidang Luar negeri, serta bidang usaha dan dana.
Fungsi dan tugas tersebut dikaitkan dengan berbagai Departemen, antara lain dengan Depdikbud manakala berkaitan dengan peraturan, kebijaksanaan, pembinaan, dan pengembangan pendidikan tinggi. Kemudian dengan Departemen Keuangan bila berhubungan dengan pembebasan pajak pada badan Penyelenggara PTS, serta peminjaman serta pembebasan PBB atas lahan dan gedung milik Badan Penyelenggara PTS atau Yayasan. Kerjasama dengan Departemen Pertahanan dan LEMHANNAS adalah dalam rangka mengikutsertakan Pimpinan PTS dalam Kursus LEMHANNAS.
Tetapi yang paling utama adalah selalu menyampaikan usul-usul kepada Menteri Pendidikan Nasional, agar kedudukan serta pembinaan PTS sejalan dengan PTN dalam peningkatan mutu, pemberdayaan dosen, serta akreditasi program studi PTS oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), dengan tujuan bahwa program studi yang sudah terakreditasi dengan peringkat A, B atau C dibebaskan mengikuti Ujian Negara.
Pada kepengurusan Rudhy yang pertama akhirnya nama BM-PTSI diubah menjadi APTISI, dengan penekanan kepada Visi, Misi dan sasaran dari PTS sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Perubahan juga disesuaikan dengan bunyi Pasal 31 UUD 45, yang menyebutkan bahwa tiap-tiap Warga Negara berhak mendapatkan Pendidikan, sedangkan pemerintah berkewajiban menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional melalui Undang-undang.
Pada tahun 2004 Rudhy terpilih menjadi Ketua Bidang Organisasi AS BP PTSI untuk seluruh Indonesia. Badan ini berdiri untuk mengantisipasi kebijakan-kebijakan Menteri Pendidikan Nasional, yang menurut para pimpinan Yayasan, Perkumpulan, dan lain-lain, kurang diperhatikan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI) padahal tugas utama APTISI ini adalah melaksanakan seluruh kegiatan-kegiatan Perguruan Tinggi Swasta dan menampung keluhan-keluhan Yayasan.
Asosiasi ini mempunyai misi untuk menumbuhkembangkan pengelolaan yang baik dan benar dalam penyelenggaraan dan upaya peningkatan pelayanan pendidikan tinggi, membantu dan memfasilitasi badan penyelenggara perguruan tinggi swasta dalam penyelenggaraan dan upaya peningkatan pelayanan pendidikan tinggi, serta memberdayakan masyarakat untuk berperan serta dalam penyelenggaraan dan upaya peningkatan pelayanan pendidikan tinggi.
Seluruh Perguruan Tinggi Swasta Indonesia merasa terjembatani segala keluhan-keluhan yang terjadi didaerah-daerah akan kekurang serasian antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) didalam mengelola bidang Akademik, bidang Pengabdian Masyarakat dan bidang Penelitian, terutama didalam penerimaan mahasiswa.
Dengan demikian selama 25 tahun terakhir berkecimpung di dunia pendidikan tinggi Rudhy U Simarmata menorehkan karier barunya dimulai sebagai Pembantu Rektor III Universitas Mpu Tantular (UMT) tahun 1984-1992, menjadi Anggota Kelompok Kerja di Sekretariat Jenderal Lemhannas (1985-1993), Pembantu Rektor II UMT (1992-1996), Wakil Ketua Badan Musyawarah PTS Wilayah III DKI Jakarta (1996-2000), Rektor Universitas Mpu Tantular(1996-2000), Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) UMT Jakarta (2000-2009), Wakil Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI) Bidang Akademik dan Evaluasi Wilayah III DKI Jakarta (2000-2004), Wakil Ketua APTISI Bidang Kerjasama Wilayah III DKI Jakarta (2004-2008), Ketua Departemen Organisasi Badan Penyelenggara PTSI (BP-PTSI) Seluruh Indonesia (2004-2008),Pemimpin Umum Majalah “Info APTISI” Wilayah III DKI Jakarta, serta Anggota Dewan Pengarah Jurnal Penelitian dan Ilmu Terapan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UMT.
Universitas Mpu Tantular pernah memiliki beberapa rektor, nama selengkapnya adalah Prof Dr W.B. Sijabat (1984-1987), Prof DR KRHT Tarnama Sinambela Kusumonagoro (1987-1989), Prof DR Bistok Siahaan (1989-1990), Prof DR KRHT Tarnama Sinambela Kusumonagoro (1990-1996, Drs R.U. Simarmata (1996-2000), Ir Edison Situmorang, M.Sc (2000-2004), Ir M.T.D Sianipar, MM (2004-2008). Dari Purek III, Rudhy akhirnya terpilih menjadi Rektor untuk periode tahun 1996-2000.
Dalam perkembangannya UMT tetap berkembang secara akademik maupun secara program studi. Tanpa disadari, berdasarkan pancaindra keenam yang seolah dimiliki oleh Prof DR KRHT Tarnama Sinambela Kusumonagoro UMT terbukti berhasil berkembang secara alamiah.
Berawal dari kemauan atau ide-ide sederhana Sinambela, kemudian tercetus pulalah sebuah rencana baru besarnya untuk melahirkan sebuah sekolah maritim, yang di kemudian hari dikembangkan lebih jauh menjadi Fakultas Maritim UMT.
Dengan berdirinya Fakultas Maritim UMT Sinambela segera saja bergerak maju antara lain untuk menyediakan tanah seluas 1.500 hektar di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, lokasi untuk didirikannya sebuah universitas berskala internasional dengan menambah beberapa fakultas dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Program Inilah yang sekarang sedang berkembang luas di UMT, yang dikenal pula sebagai sebuah rencana besar mendirikan “Kota Mahasiswa” di Jonggol. Tetapi sangat disayangkan dari tujuh pendekar pendirian UMT disebabkan oleh berbagai hal termasuk karena meninggal dunia, kini tinggal dua tokoh yang tersisa mengabdi di UMT yaitu Rudhy U Simarmata sehari-hari Ketua Badan Pelaksana Harian UMT, dan Drs A Sihotang sehari-hari mengajar sebagai dosen.
Hubungan antara Rudhy U Simarmata dengan Kanjeng Pangeran Tarnama Sinambela Kusumonegoro, secara khusus di bidang pengelolaan pendidikan tinggi bernama Universitas Mpu Tantular, ibarat bunyi perumpamaan sudah seperti pinang dibelah dua. Di UMT Rudhy boleh dikatakan adalah juga berarti merepresentasikan pemikiran Tarnama, demikian pula sebaliknya pemikiran Tarnama adalah juga muara dari ide-ide segar dari Rudhy.
Tetapi yang membuat keduanya menjadi ibarat pinang dibelah dua sesungguhnya justru karena selalu ada perbedaan pemikiran dan pendapat yang tajam diantara mereka. Tetapi apabila sudah tiba pada pengambilan keputusan bagaimana membangun UMT, maka keduanya pada akhirnya akan selalu dapat menyatu dan bekerjasama dalam pola pikir.
Perbedaan pendapat yang selalu menajam diantara mereka berdua telah menjadi sebuah sinergi yang sangat bertenaga manakala sudah disatupadukan. Memang, perbedaan adalah esensi utama dari sebuah sinergi. Terbuktilah sudah selama 24 tahun lebih mereka meluncurkan aneka gagasan dan ide-ide segar bagaimana mengembangkan UMT secara terpadu.
Dalam pandangan Rudhy, Tarnama Sinambela selaku pendiri kelompok usaha kontraktor Grup Sumber Batu, lembaga sekolah Yayasan Pendidikan Budi Murni, serta Universitas Mpu Tantular, memiliki komitmen yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Dengan menyajikan aneka jenjang pendidikan kepada semua anak bangsa mulai TK hingga perguruan tinggi, Tarnama yang merupakan seorang putra bangsa asal Desa Pangasean, Sumatera Utara ingin sekali mewujudkan cita-cita terbarunya untuk mendirikan sebuah Kota Mahasiswa Mpu Tantular.
Di dalamnya kelak secara terpadu berdiri Universitas Mpu Tantular, Institut Kelautan Mpu Tantular, Pusat Riset Kelautan (Ocean Research Center) bertaraf internasional, perpustakaan mahasiswa, asrama mahasiswa, danau buatan, bioskop dan berbagai kelengkapan lain hingga setiap mahasiswa sepanjang menjalani studi selama lima tahun menghabiskan waktunya cukup di satu lokasi saja, yaitu di Kampus Kota Mahasiswa Terpadu Mpu Tantular.
Visi itu akan semakin dipertajam lagi ke depan dengan rencana besar Tarnama mendirikan lembaga pendidikan tinggi baru yang dinamakan Institut Kelautan Mpu Tantular, berikut segala fasilitas pendukung berupa sarana dan prasarananya secara terpadu di Kota Mahasiswa Mpu Tantular, seluas 1.500 hektar terletak di wilayah Jonggol, Bogor, Jawa Barat.
Ide soal Kota Mahasiswa konon sudah lama diidam-idamkan oleh Tarnama Sinambela. Belum lengkap dirinya merasa sebagai pendidik bagi semua anak bangsa, tanpa berusaha mewujudkan Kota Mahasiswa sebagai fasilitas paling premium di dunia pendidikan. Untuk mewujudkan itulah dia melirik tanah di Jonggol. Kampus baru yang hendak didirikan nantinya akan diperlengkapi pula dengan tempat-tempat ibadah seperti masjid dan gereja, ada salon, kolam renang, supermarket, toko buku, sarana olahraga, restoran, laboratorium dan berbagai fasilitas pendukung.
Dengan demikian mahasiswa selama tinggal di asrama tidak perlu pergi keluar untuk memenuhi kebutuhannya, karena dalam kompleks semua sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas.
4. Menjadi Pemilik Taksi
Apabila sebagai pejabat Negara Rudhy U Simarmata dipercaya menjadi Ketua Koperasi Pegawai Negeri Ditjen Perkebunan, di lingkungan swasta atau masyarakat biasa, Rudhy juga mengabdikan diri dengan menjadi pendiri dan pengurus Koperasi Taksi Indonesia (KTI), yang mengelola armada pertaksian dengan merek taksi KTI.
Ketertarikan Rudhy untuk menggeluti bisnis taksi bermula dari tahun 1971 tatkala muncul kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang menetapkan pengusahaan taksi di wilayah DKI Jakarta harus selaras dengan sebutan kota ini sebagai metropolitan sekaligus sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Salah satu teknis kebijakan dimaksud, setiap badan usaha pertaksian harus memiliki armada minimal 100 taksi.
Dengan keputusan terbaru Gubernur tersebut, pengusaha taksi liar yang lama mendominasi dan menjamur di Jakarta, kemudian berhimpun dan mempersatukan diri dengan membentuk satu wadah berbentuk koperasi. Dan untuk memenuhi jatah sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta tersebut, siapapun dia termasuk perseorangan sekalipun dapat saja diterima menjadi anggota koperasi meskipun tidak memiliki kendaraan, asalkan mampu menyetor uang muka untuk pembelian kendaraan baru.
Sesungguhnya untuk memenuhi syarat jumlah taksi minimal 100 unit perhimpunan seluruh “taksi liar” atau biasa disebut “taksi gelap” sudah cukup memadai. Hanya saja, mereka mengalami kesulitan untuk menyetor uang muka pembelian kendaraan baru. Karena itulah, dibukalah kesempatan untuk menerima calon anggota baru asalkan memiliki kemampuan untuk menyetor uang muka pembelian kendaraan baru.
Pada tanggal 16 Maret 1972 akhirnya disepakatilah pembentukan sebuah wadah koperasi taksi yang diberi nama Indo Taksi, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Koperasi Taksi Indonesia (KTI). Dan akhirnya pada tanggal 16 Mei 1972 keluarlah surat persetujuan pengesahan secara resmi berdirinya Koperasi Taksi Indonesia, oleh Direktorat Koperasi DKI Jakarta, dengan Badan Hukum No.964/BH/1972.
Dengan keluarnya persetujuan Badan Hukum dimaksud, pada tahun 1973 jumlah anggota KTI segera meningkat tajam yang ditandai dengan jumlah armada taksi yang sudah menjadi 400 unit, sekalipun pada awalnya koperasi belum begitu besar di mata masyarakat sebagai sector angkutan pertaksian. Yang masih masyarakat tahu adalah, bahwa koperasi lebih banyak berkembang di bidang simpan pinjam, koperasi unit desa, dan sebagainya.
Sekalipun sudah keluar persetujuan dari Direktorat Koperasi DKI Jakarta tentang pendirian KTI, akan tetapi izin usahanya baru diberikan pada tahun 1979 setelah beberapa kali pengurus mendatangi DPRD DKI Jakarta, guna mendesak Pemda DKI Jakarta segera memberikan izin usaha. Izin usaha pengoperasian taksi akhirnya bisa diberikan kepada 65 unit taksi. Disinyalir oleh beberapa pengurus KTI, sulitnya keluar izin operasi taksi dimaksudkan agar anggota KTI bersedia bergabung dengan operator taksi lainnya yaitu PT Presiden Taksi, karena Pemda DKI Jakarta memiliki kepentingan tertentu atas keberadaan Presiden Taksi pada masa itu.
Dalam perkembangan selanjutnya kiprah KTI memang menjadi lebih dikenal masyarakat, dan pengelolaannya pun sudah semakin membaik. Bahkan, Bank DKI dan Bank Muamalat Indonesia terbukti berkenan untuk menyetujui pemberian kredit kepada KTI, didasarkan oleh adanya asset KTI berupa tanah di Jalan Tanah Merdeka, Kampung Rambutan, Jakarta Timur, tempat kantor KTI berdiri hingga sekarang.
Selain ikut membidani pendirian KTI, nama Rudhy U Simarmata pernah pula terlibat dalam pengelolaan dengan duduk sebagai Wakil Ketua maupun sebagai Ketua Pengawas Koperasi Taksi Indonesia. Usaha-usaha KTI terus saja berkembang, dari sebelumnya tahun 1991 memilik armada taksi masih sebanyak 350 unit, pada tahun 2000-an meningkat pesat menjadi 999 unit.
Perkembangan pesat tersebut dapat dimaklumi, sebab pendiriannya sejak awal selain didukung oleh Pemda DKI Jakarta, juga ada peran Menteri Koperasi dan PPL pada waktu itu, yaitu mendukung pengembangan usaha-usaha KTI antara lain dengan meluncurkan jasa Taksi Antar Kota dengan trayek Jakarta-Bandung, dimana peluncurannya di tahun 1983 dilakukan sendiri oleh Gubernur DKI Jakarta. Pengurus KTI setiap tahunnya selalu berhasil melakukan peremajaan taksi, usaha-usaha dikembangkan dengan mendirikan berbagai unit perbengkelan dan service station, pertokoan alat-alat mobil, kegiatan usaha simpan pinjam, dan lain sebagainya.
Dengan demikian sekalipun Rudhy U Simarmata dinyatakan pensiun sebagai pegawai negeri sipil tahun 1995, dari segi kegiatan dia sesungguhnya tidak pernah mengalami istilah pensiun malahan semakin bertambah-tambah saja. Selain mempunyai kegiatan di KTI, Rudhy masih mempunyai kegiatan lain seperti mengajar sebagai dosen, serta menjadi eksekutif kampus di Universitas Mpu Tantular (UMT) dimulai dari Pembantu Rektor, menjadi Rektor, dan kini menjadi Ketua Badan Pelaksana Harian Yayasan Pendidikan Budi Murni yang mengelola Universitas Mpu Tantular. *****
B A B V
MENJADI PELAYAN DI HARI TUA
1.Perjalanan Spiritual ke Israel
Naluri Rudhy U Simarmata sangat ingin hidup seribu tahun lagi. Tetapi, suara keimanan justru mengakui bahwa sebetulnya dia sudah memasuki gerbang usia senja. Tenaga sudah semakin berkurang, tetapi ia tetap saja berusaha supaya tetap berguna bagi siapa saja. Dan karenanya, disimpulkanlah yang sangat perlu dilakukan kini adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan diri diterjemahkan sebagai mencoba melakukan hal-hal apa yang diperintahkan oleh Tuhan untuk dilakukan umat manusia.
Yang menarik, berbeda dengan kebanyakan orang, Rudhy dan Istri sudah kukuh untuk berprinsip sekemampuan semaksimal mungkin untuk selalu melayani, bukan untuk dilayani. Tetapi keduanya mengakui pula karena sudah senja, dan juga sepuh, tak mungkin lagi mereka melayani melalui lembaga keagamaan. Bentuk konkrit pelayanan yang mereka maksudkan adalah memberi petuah, saran, dorongan untuk tetap hidup di rel yang diamanatkan di dalam firman Tuhan, dan bila memungkinkan membantu di segala bidang kehidupan.
Kiprah kepelayanan Rudhy semakin mantap manakala gereja tempatnya beribadah selama ini, HKBP Ressort Tebet, di Tebet, Jakarta Selatan sudah sejak tahun 2007 lalu membentuk kelompok kategorial bernama Lansia, atau Lanjut Usia. Rudhy segera masuk Lansia dan sangat begitu tergugah untuk berkiprah di sana untuk saling berbagi cerita dengan sahabat sesama orangtua sepuh. Salah satu yang sangat dibanggakannya adalah perjalanan spiritualnya ke Israel, mengunjungi tempat-tempat bersejarah bagi umat Kristen di Israel hingga Mesir. Di sana, dalam salah satu kebaktian di Kota Jerusalem, Rudhy berbanga hati tatkala Pastor menunjuknya bersama dua orang lain untuk membagi-bagikan anggur perjamuan kudus, kepada semua peserta kebaktian.
Sebelum memasuki usia lanjut ini, memang, Rudhy dan Istri sudah bercita-cita bahkan telah terwujud rencana untuk mengadakan perjalanan ke Israel, negara bersejarah bagi umat Kristen. Maka pada tahun 2003 keduanya mengadakan perjalanan spiritual selama 10 hari bersama “MITHA HOLYLAND TOURS”, dengan tujuan “untuk mendapatkan api bagi roh mereka”, sesuai Firman Tuhan yang menyebutkan bahwa Tuhan mempunyai api di Sion dan dapur perapian di Jerussalem (Yesayas 31 : 90 ).
Perjalanan mereka pilih murni untuk perjalanan suci saja, tidak menyimpang ke daerah-daerah turis seperti Perancis dan Italia. Keduanya memulai perjalanan dari Mesir ke St. Catherine-Taba-Eilat-Qumran-La
Ini adalah suatu perjalanan yang panjang tetapi sangat menggembirakan. Terasakan sekali betapa kecilnya dunia ini bila dibandingkan dengan kebesaran Tuhan. Israel merupakan daerah perwujudan mercusuar peradaban dunia, sekaligus tempat lahirnya Raja Penebus.
Israel suatu negara yang sejak tahun 1967 selalu dikerubuti bangsa-bangsa Arab, akan tetapi tetap dapat survive. Malahan, balasan yang diberikan dari bangsa ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian dan kehidupan bangsa-bangsa Arab. Israellah sebuah negara yang sangat dipayungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Akan tetapi karena bangsa Israel terlalu angkuh, Tuhan kadang-kadang memberikan pula hajaran terhadapnya. Walaupun demikian Tuhan selalu menjaga identitas bangsa ini sebagai bangsa pilihan Tuhan.
2.Rindukan Perdamaian
Negara Israel dihuni oleh berbagai agama yaitu Islam, Yahudi dan Kristen. Jika dilihat persentase Yahudi lebih dominan, disusul Islam dan Kristen. Orang Yahudi tidak mengakui bahwa Mesias atau Yesus sudah lahir. Mereka justru beranggapan bahwa Penebus belum lahir.
Bangsa Israel tetap saja masih dirongrong oleh negara-negara Arab. Malahan, sampai sekarang negara-negara Arab belum mengakui eksistensi negara Israel. Walaupun demikian bangsa-bangsa di dunia non Arab selalu berduyun-duyun datang ke negara Israel. Kedatangannya disamping sebagai turis biasa, yang paling utama adalah untuk ziarah ke tempat-tempat suci bagi Agama Kristen, seperti ke kota Jerussalem yang dianggap orang Kristen sebagai kota suci, dan menurut sejarah sudah beberapa kali mengalami kehancuran.
Sejak Musa diperintahkan Tuhan untuk membawa bangsa Israel hijrah dari tanah Mesir, dan memberikan tanah perjanjian untuk ditempati yaitu Israel sekarang, terlihat bangsa Israel selalu dihantui peperangan terus-menerus melawan bangsa-bangsa Arab.
Padahal kota Jerussalem seharusnya merupakan kota perdamaian baik bangsa Israel maupun bangsa Arab, dan bagi semua bangsa-bangsa di dunia. Di kota itu selama berabad-abad umat Yahudi, Kristen dan Islam seharusnya dapat hidup berdampingan secara damai. Akan tetapi dunia menganggap Jerussalem merupakan jantung konflik.
Setiap agama mengajarkan Kasih dan Perdamaian. Karenanya, jika kita menatap ke Jerussalem dengan hati nurani dengan akal sehat, niscaya bisa mengesampingkan pelbagai cerita tentang konflik dan kebencian di sana. Seluruh umat akan senantiasa berjiarah, dan hatinya kerap hinggap di Jerussalem karena di dalamnya ada sabda tentang kesucian dan perdamaian.
Jerussalem merupakan tempat lahirnya orang-orang suci, yaitu orang-orang yang begitu berjasa membangun peradaban dunia yang penuh kasih, damai dan toleransi. Jerussalem adalah sebuah kota tempat berdiri Gereja Makam Kristus, Tembok Ratapan, serta Kubah Emas dan Mesjid Al Aqsha, yang kesemuanya merupakan simbol tentang keberagaman dalam rangka menuju Yang Esa. Hanya secara administratif saja, memang, harus diakui Jerussalem adalah bagian dan hak Negara Israel.
Jerussalem merupakan potret pluralisme yang seutuhnya dalam pengertian pengakuan terhadap perbedaan. Perbedaan bukanlah ancaman melainkan fakta sosial yang harus dihadapi dengan kearifan, karena ada kehendak untuk hidup berdampingan secara damai. Perbedaan dan keragaman bukan untuk dihancurkan melainkan dirawat dengan baik untuk mewujudkan hidup damai.
Rudhy U Simarmata dan Istri sangat yakin kepada rahasia Tuhan, bahwa Tuhan tidak akan membiarkan mahluknya saling bertikai. Dia telah menciptakan sebuah Kota yaitu Jerussalem yang akan menjadi sabda tersendiri untuk mewujudkan perdamaian. Jerussalem adalah sala satu Jalan Tuhan dari sekian banyak jalan yang Dia ciptakan di bumi ini. Kerinduan terhadap Jerussalem pada hakekatnya adalah kerinduan terhadap perdamaian.
3.Konsisten di Pembinaan
Dalam hidup tak pernah ada rasa cukup. Tetapi Rudhy sudah merasa mantap menggeluti dunia keimanan di usia senja, setelah sebelumnya hampir seluruh hidup dipersembahkan untuk kemanusiaan antara lain dengan melakukan aneka pembinaan.
Di lingkungan keluarga sendiri pembinaan penanaman nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan dilakukan Rudhy dengan perbuatan sebagai bukti contoh, sebab tak cukup dengan hanya bicara.
Berprinsip untuk selalu melakukan pembinaan di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja sudah menjadi ciri sekaligus karakter khas Rudhy. Ketika masih aktif sebagai pejabat di Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian RI, dimana Rudhy rutin mendapat tugas khusus sebagai penatar untuk menggalang PNS dan keluarganya, Rudhy selalu berperan ganda sebagai penatar sekaligus tempat konsultansi aneka persoalan rumahtanga bagi ibu-ibu rumahtanga anggota Darma Wanita.
Ini, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Rudhy sebab model-model pembinaan yang diintroduksinya rupanya memperoleh tempat. Karenanya Rudhy mau saja meluangkan waktu berharganya untuk menampung keluhan Ibu-Ibu Darma Wanita, yang berduyun-duyun datang merubung sekedar berkonsultasi untuk mengutarakan misalnya masalah cekcok di rumah tangga, rumahtangga yang terancam bubar karena cerai, dan sebagainya.
Satu senjata pamungkas yang keluar dari mulut Rudhy menanggapi aneka persoalan rumahtangga itu, misalnya kalau ada masalah seorang suami yang mau cerai, atau suami yang mau kawin lagi, atau terbukti suami yang nyeleweng, adalah dengan berpesan agar si ibu “memperbaiki” dan menyesuaikan diri terhadap “kemauan” suami.
Prinsip dasar untuk selalu melakukan pembinaan kepada semua orang, meskipun itu bertentangan dengan keinginan generasi muda, tujuan pastinya adalah supaya yang dibina menjadi baik, dapat menjadi “orang”, kembali utuh sebagai manusia, bisa bergaul baik dengan siapa saja, dan pada akhirnya yang dibina menjadi dapat berbuat sesuatu yang lebih baik bagi manusia lain.
Rudhy tak goyah meski kerap dicerca oleh generasi muda, yang menyebutkan bahwa model pembinaannya sudah tak cocok sebab ketinggalan jaman. Bahkan karena pembinaan-pembinaan yang kerap dilakukannya, terkadang menjadi ada yang tidak lagi mau diajak bicara oleh Rudhy sekalipun dia itu sahabat, tetangga, anggota keluarga, atau teman semarga.
Tetapi pada kesempatan lain tetap saja Rudhy berbuat demikian memberikan pembinaan, sebab sudah kommitmen dia untuk selalu membina, membina, dan membina. Termasuk rela berkorban materil dan immaterial demi misi pembinaannya.
Rudhy sendiri sudah mengalami manisnya buah sebuah pergaulan yang baik. Hanya karena pergaulanlah maka ia berkesempatan memperoleh rumah dinas di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, bukan karena jabatan yang sedang disandangnya saat dulu itu.
4.Hebat Bila Bersatu
Mengenai orang Batak saat ini, menurut penilaiannya, Rudhy mengatakan, pertama, mereka masih ada memiliki sifat-sifat negatif seperti elat, late, hosom dan sebagainya yang seolah sudah menjadi dasar bagi semua orang Batak. Kedua, pada diri orang Batak selalu ada rasa iri, kecemburuan, sehingga kalau ada orang yang mau maju ada saja yang protes.
Kemudian yang ketiga, kali ini sifat positif, orang Batak biar bagaimanapun selalu berusaha untuk dihargai orang, untuk dihormati orang. Menurut Rudhy, sebetulnya, kalau saja semua orang Batak bersatu, terutama potensinya, dipastikan akan menjadi hebat orang Batak ini.
Iapun mengambil contoh bagaimana sebaiknya orang Batak bersikap dan berperilaku manakala menghadapi peristiwa semisal Sinode Godang ke-59 HKBP. Menurutnya, tanpa membentuk tim sukses pun, para kandidat pucuk pimpinan HKBP yang sudah banyak berbuat untuk kemajuan HKBP tetap saja akan terkenal, dan menjadi pemenang dalam pemilihan.
Sumber : http://id.netlog.com/