Bag 3: Ompunta Simataraja

Ompu Simataraja
Ompu Simataraja

3.1 Tarombo

Begitu pentingnya tarombo tersebut sampai pemerintah Belanda pada jaman penjajahan melalui Rhijinche Zending menugaskan beberapa pejabat mengadakan riset untuk ini yaitu Pendeta Dr. Wornech, Joustra.

Yang paling popular adalah YPES dengan bukunya Bijdrage tot e kennis van de stamverwantschappen en het gronddrecht der Toba – en Dairi Bataks (1932) dan demang WM, Hutagalung – Pustaka Taringot Tarombo Batak (1926).

Sepanjang yang dapat diketahui penulis Tarombo pertama adalah Van Dijk (Kontrolir di Balige) dalam Tijdschrift Bataviache Genootschap (1890) dan Dr. J. Warneck – Toba Bataks Woeter boek (1903)

Tarombo tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suku Batak. Salah satu aspek budaya tetapi merasuk sampai ke aspek ekonomi, politik dan sosial. Tidak lengkap kehidupan seorang manusia Batak bila belum mengenal Tarombonya yaitu suatu benang merah keturunan yang menghubungkan leluhur dengan manusia masa kini, suatu pemelihara kesinambungan antar generasi ke generasi.

Dengan mengetahui tarombonya seorang Batak diakui jati dirinya dalam masyarakat Batak yang dimateraikan dalam apa yang disebut “marga” Marga adalah akar yang menghubungkan orang batak dengan leluhurnya, dengan bona pasogitnya, dengan kaumnya. Tanpa marga orang batak seperti tercerabut dari ke Batakannya, seperti pepatah lama yang berbunyi:

Natiniptip sanggar
Bahen huru-huruan
Jolo sinungkun marga
Asa binoto partuturan

Marga adalah satu-satunya milik orang Batak yang tidak lekang dipanas, tidak lapuk di hujan dan tidak akan pernah hilang. Karena “so tarharat ngit-ngit, so tar tangko pangko So hasegaan tasik”, seperti para orang tua arif dahulu berkata:

Marga, sinihathon Mulajadi
Sipajujung-jujung on
Saleleng disiulu balang ari
Marga, sinahaphon ni Namartua Debata
Tung naso olo mago
Ai so tartangko panangko

Marga juga berfungsi sebagai landasan pokok yang mengatur ketertiban dalam masyarakat Batak mengenai seluruh jenis hubungan antar pribadi dengan pribadi, antar pribadi dengan golongan, antar golongan dengan golongan.

Tujuan marga yang lain untuk membina kelompok serta solidaritas sesama anggota marga sebagai keturunan dari satu leluhur. Walaupun keturunan satu leluhur pada suatu ketika mungkin akan terbagi atas cabang-cabang golongan marga, akibat perkembangan jumlah keturunannya namun sebagai keluarga besar, marga-marga cabang tersebut akan selalu mengingat kesatuannya dalam pokok marganya.

Setiap cabang marga merupakan sada somba = satuan untuk persembahan, sada raga-raga = satuan para-para suci, sada guguan = satuan unit pengumpul sumbangan bagi keperluan upacara upacara kurban yang dilakukan, sada jambar = satu unit yang berhak mendapat satu jatah dari hewan kurban.

Ada banyak marga di dunia yang mengenal marga, memakai nama keluarga baik di depan maupun di belakang nama pribadinya. Diantaranya beberapa suku di Indonesia, bangsa-bangsa di Amerika, Asia dan dibanyak bangsa lainnya tetapi tidak ada yang seunik marga di kalangan suku Batak. Ditambah dengan kebiasaan orang Batak dan mempunyai minat yang menonjol dalam “martutur”, menelusuri rantai silsilah kekerabatan (partuturon) jika saling bertemu diantara orang batak. Terutama untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dengan yang lainnya, hubungan kekerabatan melalui keturunan darah atau perkawinan yang selalu hadir di mana­mana memberi kesempatan kepada orang Batak alasan yang tepat untuk saling mengemukakan keramah tamahan.

Ada lagi Dalihan Natolu dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh orang Batak yang terdiri dari tiga unsur atau kerangka dan merupakan satu satuan yang tidak terpisahkan yakni Dongan sabutuha – Hula-hula – Boru. Ketiganya bergerak serta saling berhubungan selaras, seimbang dan teguh oleh adanya marga dan prinsip marga.

Istilah Dalihan Natolu berasal dari kata Dalihan artinya Tungku dan Natolu artinya Tiga. Jadi harus ada tiga batu untuk membentuk satu tungku agar dapat meletakkan periuk/tempat masuk dengan kokoh.

Dalihan Natolu berfungsi menentukan tentang kedudukan hak dan kewajiban seseorang atau kelompok. Mengatur dan mengendalikan tingkah laku seorang atau kelompok dalam kehidupan adat bermasyarakat Batak.

Itulah sebabnya dapat dikatakan arti marga bagi orang Batak adalah satu-satunya di dunia yang mendapat kedudukan sangat unik.

Bagaimanakah orang Batak mengetahui garis keturunannya sampai kepada leluhur yang dipercaya sudah berlangsung lebih kurang 20 generasi? Bukti tertulis hampir tidak ada (dalam arti ditulis yang besangkutan), tetapi orang Batak percaya akan berita yang diwariskan oleh para orang tua, baik lewat “turi-turian” ketika memberi wejangan dalam acara-acara khusus maupun ketika menina bobokkan anak-anaknya melalui cara demikian para generasi kemudian akan mempertahankan marganya, bahkan dengan taruhan nyawanya.

Maka kalau kita ingin mengenal leluhur kita Ompu Simarmata yang menurunkan pomparan marga Simarmata, ada baiknya kalau kita mulai dari leluhur orang batak yaitu Si Raja Batak.

3.1.1 Si Raja Batak

Tersebutlah kisah nenek moyang suku Batak adalah bernama Si Raja Batak yang menurut legenda lahir dari keturunan dewata. Ibu anak itu, bernama Si Boru Deak Parujar yang diperintahkan Dewa tertinggi, Debata Mulajadi Nabolon untuk menciptakan bumi. Setelah menciptakannya ia pergi ke Sianjur Mula-mula, di gunung Pusuk Buhit di jajaran pegunungan Bukit Barisan di tepi Danau Toba nan indah dan berdiam di sana. Orang Batak memandangnya sebagai tempat asal mula seluruh bangsa Batak.
Si Raja Batak mempunyai dua orang putera yaitu:
Guru Tatea Bulan
Raja Isumbaon

Guru Tatea Bulan dengan istrinya bernama Si Boru Baso Burning mempunyai 5 putera dan 4 puteri;
Putera: Si Raja Biak-Biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Malau Raja.
Puteri: Si Boru Pareme, Si Boru Anting Sabungan, Si Boru Biding Laut, Nan Tinjo.

Raja Isumbaon yang artinya raja disembah mempunyai tiga orang putera yaitu:
Tuan Sorimangaraja
Raja Asi-Asi
Sangkar Somarlindang

Semua keturunan Si Raja Batak dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu turunan Guru Tatea Bulan atau golongan Bulan dan turunan Raja Isumbaon atau golongan Mata hari yang dilambangkan dalam bendera Batak (bendara Sisingamangaraja) dengan gambar Bulan dan Matahari.

Tuan Sorimangaraja adalah satu-satunya putera Raja Isombaon yang tinggal di Pusuk Buhit sedangkan Raja Asi-Asi dan Sangkar Somalindang pergi meninggalkan bona pasogit sebelum kawin sehingga tidak diketahui keturunannya.
Tuan Sorimangaraja mempunyai tiga orang istri dan dari masing-masing istri memperoleh satu anak putera yaitu:

Tuan Sorba Dijulu atau Ompu Nabolon gelar Naiambaton hasil perkawinan dengan Si Boru Anting Malela (Sabungan) puteri kedua dari Guru Tatea Bulan,

Tuan Sorba Dijae atau Raja Mangarerak gelar Nai Rasaon hasil perkawinan dengan Si Boru Biding Laut puteri ketiga dari Guru Tatea Bulan.

Tuan Sorba Dibanua gelar Nai Suanon hasil perkawinan dengan Si Boru Sanggul Haomasan

3.1.2 Si Raja Nai Ambaton

Adalah putera sulung Raja Isumbaon yang sebenarnya bernama Ompu Tuan Nabolon, namun sampai kini keturuannnya dinamai pomparan Nai Ambaton menurut ibu leluhurnya dan walaupun keturunan Naiambaton sudah lebih dari 50 marga dan lebih kurang 20 generasi, sampai sekarang masih tetap mempertahankan “ruhut bombong” yaitu peraturan yang tidak memperbolehkan perkawinan sesama marga yang termasuk seluruh marga Nai Ambaton. Nai Ambaton mempunyai 5 putera tetapi ada pendapat yang mengatakan tiga orang putera, ada yang mengatakan dua dan yang lain mengatakan empat orang putera. Meskipun ada perbedaan pendapat tetapi tentang jumlah dan marga-marga yang termasuk keturunan Raja Nai Ambaton hampir semua sepakat. Dibawah ini adalah 5 putera Nai Ambaton yaitu:

  1. Simbolon Tua
  2. Tamba Tua
  3. Saragi Tua
  4. Munte Tua
  5. Nahampun Tua

dari kelima marga induk lahirlah berpuluh-puluh marga keturunan Nai Ambaton seperti disebutkan di atas.

Dari putera kedua Nai Ambaton yaitu Saragi Tua mempunyai 2 orang putera Yaitu:

  1. Ompu Tuan Binur
  2. Saragi Tua

Putera sulung Saragi Tua yaitu Ompu Tuan Binur kemudian kawin dengan Bunga Ria Boru Manurung puteri Raja Manurung yang tinggal di negeri Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate dan menjadi raja dari daerah sekitarnya. Ompu Tuan Binur mempunyai 4 orang putera, yaitu:

  1. Lango Raja
  2. Saing Raja
  3. Mata Raja
  4. Deak Raja

sedangkan 2 puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu.

3.1.3 Ompu Simataraja

Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja kemudian kawin dengan “pariban” nya puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana yang bernama Lahatma Boru Limbong Sihole dimana selanjutnya mereka tinggal di tanah yang bernama Simarmata sebagai Bona pasogit dari seluruh keturunan Ompu Simataraja marga Simarmata. Dari perkawinan tersebut, Simataraja mempunyai tiga orang putera yaitu:

  1. Halihi Raja kawin dengan Naolo Boru Sihaloho dari Janji Maria Parbaba.
  2. Dosi Raja kawin dengan Bungahom Boru Malau dari Rianiate.
  3. Datuktuk Raja kawin dengan Tiarma Boru Sinaga Uruk dari Batu Upar, Urat.

kepada ketiga puteranya Simataraja membagikan tanah sebagai tempat kediaman masing-masing beserta keturunannya.

Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh Huta Toguan, dan yang bungsu yaitu Datuktuk Raja memperoleh Huta Balian.
Setelah Ompu Simataraja wafat maka ketiga puteranya tetap menjadi raja di negeri Simataraja dan damai.

3.1.4 Raja Bius Simarmata Si Tolu Tali

Demikianlah secara singkat riwayat Ompunta Simataraja sampai kepada leluhur suku Batak yaitu Si Raja Batak.
Membaca tarombo di atas tentu timbul pertanyaan, kalau bukan cerita dongeng kapankah terjadinya – hidupnya tokoh-tokoh tersebut. Apakah mereka tokoh antah-berantah hasil rekaan para orang tua saja?

Menurut Adniel Lumbantobing dalam bukunya Sejarah Sisingamangaraja yang dikutip Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak, diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1305. Dengan demikian kalau ditarik tarombo sampai kepada Ompu Simataraja yang merupakan generasi ketujuh, terentang jarak sekitar 210 tahun (dengan asumsi atau generasi 30 tahun) berarti Ompu Simataraja hidup sekitar tahun 1515. Sebagai perbandingan Tuan Sisingamangaraja I bernama Raja Manghuntal lahir pada tahun 1515 (A. Lumbantobing).

Kalau dilanjutkan kepada putera Ompu Simataraja yaitu Halihi Raja, Dosi Raja dan Datuktuk Raja dapat dikatakan ketiga putera Ompu Simataraja hidup sekitar tahun 1545.

Dari data yang ada pada penulis yaitu tarombo Bp. Drs. RU. Simarmata (Halihi Raja) dan tarombo Bp. JF. Simarmata (Datuktuk Raja) yang merupakan generasi ke tigabelas dan keempat belas maka perkiraan tahun tersebut di atas tidak jauh berbeda.

Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan marga Simarmata menyebar ke seluruh pelosok, terutama ke daerah pantai Sumatera di tepian pantai Danau Toba baik ke arah timur, tenggara maupun ke barat diantaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Barus dan selanjutnya ke P. Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jakarta, ke seluruh Indonesia bahkan ke seluruh Dunia.

3.1.5 Simalungun

Kalau diperhatikan bahwa raja-raja penguasa tanah Simalungun yang hanya terdiri dari empat marga yaitu Saragih, Damanik, Purba dan Sinaga dapat disimpulkan bahwa keturunan Raja Nai Ambaton dari puteranya Saragi Tua sudah cukup lama pergi ke tanah Simalungun sehingga dapat menjadi raja.

Keturunan Simataraja marga Simarmata yang datang kemudian dapat diterima di Simalungun karena mengikuti marga dongan tubunya Saragi yang di Simalungun menjadi Saragih. Baru belakangan setelah kekuasaan raja-raja berkurang marga Simarmata yang tadinya disebut marga Saragih kembali memakai marga Simarmata walaupun karena sudah cukup lama memakai marga Saragih banyak diantaranya yang tidak mengingat lagi keturunan Ompu yang manakah diantara ketiga putera Ompu Simataraja yang bersangkutan.

Generasi selanjutnya yang kemudian menempati pesisir pantai di hadapan Pulau Samosir. Mereka mendiami daerah Tigaras, Haranggaol, Silalahi, dan desa-desa di sepanjang pantai tersebut.Menurut cerita perpindahan ke tanah Simalungun ini sudah berlangsung antara tujuh sampai sepuluh generasi.

3.1.6 Karo

Menurut Mulgap Ginting yang dimuat pada harian Sinar Indonesia Baru 31 Oktober 1971 Medan, Simarmata yang di tanah Karo menjadi Garamata (merah mata) mengembara ke tanah karo melalui Dairi.

Kampung yang mula-mula ditempati di tanah Karo ialah kampung Lau Lingga (sekarang Kecamatan Juhar). Di sini Garamata membuat namanya Matangken dan marganya Ginting. Di kampung inilah Matangken kawin dan mendapat seorang anak yang diberi nama Tindang (berdiri). Sesudah dewasa Tindang kawin di kampung itu juga. Istrinya adalah anak Raja Umang. Sebelum mempunyai anak Tindang dan istrinya meninggalkan kampung Lau Lingga dan pergi ke arah Timur lalu bertempat tinggal di sebuah kampung bernama Gura Lesma dekat kota Kabanjahe (sekarang Kecamatan Munte). Kehidupan mereka bertani dan di tempat ini mereka mempunyai anak yaitu 9 laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing bernama Ajar Tambun, Suka, Babo, Sugihen, Gurupatih, Jadibata, Beras, Bukit, Garamata dan yang perempuan bernama Bembem.

3.1.7 Dairi, Humbang dan Barus

Perpindahan keturunan Simataraja ke daerah ini adalah mengikuti dongan tubunya Simbolon, meskipun tidak sebanyak marga Simbolon tetapi di beberapa daerah di sekitar Humbang terdapat marga Simarmata yang sudah tinggal beberapa generasi di situ (Batara Sangti dalam Sejarah Batak).

3.1.8 Daerah lain-lain

Demikianlah generasi-generasi awal perpindahan Keturunan Simataraja dari Bona pasogit, selanjutnya menyebar ke daerah lain sampai ke Jakarta.

Khusus ke Jakarta dan cerita-cerita para sesepuh, keturunan marga Simarmata menetap di Jakarta baru pada awal tahun lima puluhan seperti Bapak A. Simarmata, Bapak Ismail Simarmata yang sudah meninggal dan lain-lain.

Baik sekali kalau dapat diperoleh data yang akurat tentang perpindahan marga Simarmata ke Jakarta ini.

3.2 Legenda

Seperti apakah wajah dan postur tubuh Ompu Simataraja? Alangkah bahagianya bila kita sempat memiliki potret beliau.

Wajahnya tentulah wajah khas Batak dengan rahang persegi, kulitnya sawo matang mendekati coklat seperti penduduk yang tinggal di tepi pantai danau Toba. Tingginya sekitar 170 cm, mahir berenang, memiliki sorot mata keras menggambarkan sikap yang tidak pernah ragu dalam mengambil keputusan. Beliau tentulah mempunyai karisma sebab mampu meninggalkan legenda melalui perbuatannya.

Legenda?
Kalau Rudy Hartono menang dalam All England sampai 8 kali dan 7 kali berturut-turut yang tidak pernah terjadi dalam sejarah perbulutangkisan dunia, itu adalah legenda. Kalau Mohammad Ali mampu merebut gelar juara dunia tinju sebanyak 3 kali setelah kehilangan gelar tiga kali, itu adalah legenda.

Jadi tidak tepat mengartikan legenda sebagai sebuah cerita yang kebenarannya sangat diragukan, sebuah cerita yang mendekati dongeng.

Kalau kita menceritakan legenda Ompu Simataraja adalah dengan pengertian bahwa kisah ini benar-benar pernah terjadi dan karena kemashurannya diceritakan dari masa ke masa, turun-temurun sampai ke anak cucu, dengan harapan dapat dipetik ajaran-ajaran dari padanya. Inilah diantaranya:

3.2.1 Simataraja dengan Lango Raja, Saing Raja dan Deak Raja

Inilah kisah tentang ketulusan dan kasih Ompu Simataraja. Ketika ayahanda mereka Ompu Tuan Binur mangkat, ibunya Ompu Bungaria Born Manurung sedang mengandung (Marnadeak Siubeon), kedua abang Simataraja bersikeras agar warisan peninggalan Ompu Tuan Binur dapat dibagi secepatnya. Tetapi Simataraja menolak dengan pertimbangan bahwa ibunda mereka masih mengandung calon adik mereka. Bagaimana warisan dapat dibagi tiga sebab kalau ternyata bayi yang akan lahir itu adalah laki-laki sesuai hukum Batak bukankah haknya juga sama dengan mereka? Kalau langsung dibagi apalagi yang akan diberikan kepada sang adik.

Pertimbangan Simataraja tidak diterima, Lango Raja dan Saing Raja tetap bersikeras dengan putusan mereka masing-masing. Dengan sedih dan terpaksa Simataraja menyetujui keputusan kedua abangnya dan berjanji bila bayi yang dikandung ibunya adalah laki-laki bagian warisan miliknya akan dibagi untuk adiknya.

Demikianlah terjadi sebelum ibu mereka melahirkan, Saing Raja, Lango Raja melaksanakan keputusan mereka. Warisan Peninggalan Ompu Tuan Binur dibagi tiga.
Setelah “gok di bulanna”, ibunda mereka Ompu Bungaria boru Manurung melahirkan seorang putera yang diberi nama Deak Raja dan sesuai janjinya Simataraja memberikan warisan miliknya untuk adik bungsu yang dikasihinya Deak Raja yang kelak menurunkan marga Nadeak.

Melalui kisah ini kita dapat belajar tentang rasa hormat kepada yang lebih tua. Tentang kasih yang tanpa pamrih, tentang orang yang tidak “pajolo gogo papudi”.
Dengan keperkasaannya Ompu Simataraja dapat saja menentang keputusan abang-abangnya dan “ngotot” untuk menunggu kelahiran adiknya suatu alasan yang sebenarnya tepat dan masuk diakal.

Tapi beliau adalah orang yang pantun di uhum yaitu hormat kepada yang lebih tua, dan punya prinsip mengalah demi kebaikan seperti pepatah orang tua yang berbunyi:

Tigor pe batang jior
Tigoran do batang ni sangge
Tikkos pe hata tigor
Tikkos an do hata dame

Alangkah baiknya bila kita ingat prinsip itu. Begitu banyak terjadi perselisihan karena masing-masing merasa “manindakhon hatigoran”nya sendiri. Pokoknya pandangan sayalah yang paling benar, pendirian sayalah yang paling baik lalu ngotot, lupa akan tujuan yang terutama yaitu damai. Simataraja lebih mementingkan suasana damai daripada bertengkar meskipun kebenaran ada di pihaknya.

Beliau juga bukan “pajolo gogo papudi uhum”, suatu pelajaran bagi mereka yang karena memiliki kekuatan baik berbentuk kekayaan maupun kekuasaan lalu berprinsip “guru dok ku” bahkan melupakan pepatah moyang yang berkata: “somba marhula-hula, elek mar boru manat mardongan sabutuha”.

Beliau tidak melawan abangnya, seperti tertulis dalam I Petrus 3, 8- 9; Hendaklah kamu seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil yaitu untuk memperoleh berkat.

Ompu Simataraja tidak pernah mendengar ayat ini, tetapi beliau sudah melaksanakannya, Ompu Simataraja belum mengenal Kristus, tetapi ajaran Kristus tentang kasih justru dilaksanakannya dengan sejati. Kasihnya kepada adiknya Deak Raja ditunjukkannya dengan membagi warisan bagiannya dan tanpa pamrih.

Kita dapat berkata memiliki kasih, memiliki holong tetapi benarkah tanpa pamrih? Banyak perbuatan kasih, banyak perbuatan holong tetapi sebenarnya holong mamparbuat. Banyak yang mau memberi, banyak yang mau menyumbang tetapi benarkah tanpa mengharapkan imbalan? Sebagian dapat berkata ya, sebagian lagi akan beragam jawabnya. Kasih Ompu Simataraja adalah kasih sejati, holong situtu bukan holong mamparbuat.

3.2.2 Simataraja dengan Tamba Bersaudara

Tersebutlah kisah bahwa di Negeri Tamba tempat berdiam keturunan Tamba ada warisan peninggalan kakek Simataraja yaitu Saragi Tua dan peninggalan ayahnya yaitu Ompu Tuan Binur. Mereka berempat, Lango Raja, Saing Raja dan Simataraja beserta Deak Raja berunding untuk meminta penjelasan tentang warisan yang menjadi hak mereka itu. Dicapai kata sepakat yang akan menjadi utusaan ke Negeri Tamba adalah Ompu Simataraja.

Pada hari baik bulan baik berangkatlah Simataraja ke Negeri Tamba dengan misi “patotahon” bagian peninggalan ayah dan kakeknya. Kedatangan Simataraja disambut oleh dongan sabutuhanya dari keturunan Raja Nai Ambaton yaitu Tamba bersaudara yang terdiri dari: Si Tonggor Dolok, Si Tonggor Tonga-tonga dan Si Tonggor Toruan.

Melalui acara marsisean Tamba bersaudara bertanya tentang maksud dan tujuan kedatangan Simataraja yang dijawab bahwa kedatangan Simataraja adalah untuk bertanya tentang warisan peninggalan kakek dan ayahnya yang ada ditanah Tamba. Atas pertanyaan tersebut Tamba bersaudara mengakui adanya peninggalan Ompu Tuan Binur dan Saragi Tua di tanah Tamba.

Beberapa hari kemudian Tamba bersaudara mengajak Simataraja ke Golat yang ada di tanah Tamba lalu berikrar untuk patotahon Golat keturunan Saragi Tua dan Tamba Tua dengan pembagian sebagai berikut:

Bagian keturunan Tamba Tua adalah Golat ni Sitonggor Dolok, Si Tonggor Tong-tonga dan si Tonggor Toruan.
Bagian Simataraja adalah Golat Saragi Tua sebagai warisan di Negeri Tamba.

Setelah ikrar ini dipastikan, rasa puas menghinggapi masing-masing pihak mengadakan pesta gembira, dengan mengundang semua unsur Dalihan Natolu, tidak ketinggalan dongan tubu, keturunan Raja Naiambaton Nabolon. Pada pesta tersebut mereka mengalahat horbo sitingko tanduk, sijambe ihur, siopat pusoran namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kerbau yang mempunyai empat kaki melambangkan kesatuan mereka yaitu; Raja Naimbaton Nabolon. Pada pesta tersebut mereka mengalahat horbo sitingko tanduk, si jambe ihur, si opat pusoran, namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kaki kerbau lambang kesatuan dari ke empat mereka yang mardongan sabutuha yaitu:

Simataraja
Si Tonggor Dolok
Si Tonggor Tonga-tonga
Si Tonggor Toruan

Dari kisah tersebut kita dapat mengetahui Ompu Simataraja adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih dibanding saudara-saudaranya terbukti beliaulah yang terpilih menjadi utusan, suatu yang kurang lazim dalam masyarakat Batak mengingat hukum Batak yang patrilineal dimana yang tertualah biasanya yang mewakili kepentingan keluarga.

Apakah kemampuan Simataraja yang lebih itu?
Dikisahkan begitu mereka yaitu Simataraja dan Tamba bersaudara mendapat kata sepakat dan tanah warisan sudah di patota, segera diadakan pesta bolon sebab dua belah pihak sudah merasa lega, dan pantas berpesta.

Masalah warisan sudah sejak dahulu menjadi masalah pelik bahkan sampai sekarang, ditambah dengan sifat Batak yang biasanya keras dan tidak suka mengalah maka setiap kali bicara warisan persoalan menjadi sensitif. Tidak jarang karena masalah warisan sesama saudara kandung dapat bertengkar hebat, saling berebut, saling merasa paling berhak bahkan sampai mengakibatkan pertumpahan darah atau perseteruan sampai ke anak cucu, tidak berkesudahan. Meskipun masa kini orang sudah mengenal Akte, surat menyurat, tetap saja masalah warisan menjadi persoalan.

Maka kalau Ompu Simataraja dapat memperoleh apa yang menjadi misinya tanpa mendatangkan rasa sakit hati malah justru merasa puas, itu adalah salah satu kemampuan beliau dalam “marhata”. Suatu bahasa diplomasi ala Batak yang penuh dengan bahasa halus, umpasa-umpasa, tamsil, yang tidak semua orang memilikinya, dan orang seperti ini digelari raja Parhata.

Kemampuan marhata dengan prinsip bukan marsiahut di ibana tetapi seperti ajaran moyang yang berbunyi:

Balintang ma pagabe
Tumondolhon sitadoan
Arinta ma gabe
Molo hita masipaolo-olo an

yaitu prinsip musyawarah untuk mufakat. Atau seperti filsafat Jawa yang berbunyi:
Kalah tanpa bolo, menang tanpa ngasorake
Kalah tetapi tidak rugi, menang tetapi tidak menghina.

Dengan kata lain Ompu Simataraja memiliki kemampuan berkomunikasi yang prima, artinya mampu memilih kata yang tepat pada waktu yang tepat, dan mengendalikan emosi, mau mendengar pendapat orang lain, mampu melihat tidak hanya yang tersurat melainkan juga yang tersirat mempunyai wawasan pemikiran yang luas dan yang terutama mempunyai ketulusan hati.

Kemampuan berkomunikasi, salah satu kemampuan Ompu Simataraja yang patut kita teladani, acapkali kita disalah mengerti, banyak persoalan yang tidak terselesaikan, hal-hal seperti ini adalah akibat kurang harmonisnya komunikasi. Perjalanan punguan kita pun, sejarah mencatat adanya riak-riak kecil karena kurangnya komunikasi. Marilah kita belajar dari kearifan Ompu Simataraja dalam berkomunikasi.

3.2.3 Ompu Simataraja dengan Raja Siallagan dan Raja Turnip

Ini cerita tentang keturunan Raja Nai Ambaton yang lain yaitu Raja Tumba Raja Siallagan.
Kedua marga ini yang tinggal di Simanindo mendapat serangan marga Purba dari tanah Simalungun melalui tao Rahutbosi. Serangan demikian hebatnya dimana setiap keturunan Turnip dan Siallagan yang tertangkap langsung dijadikan hatoban budak. Raja Turnip dan Raja Siallagan kewalahan dan butuh pertolongan. Sidang darurat diadakan dan sampai pada keputusan bahwa Ompu Simataraja (dongan tubu mereka karena keturunan Raja Nai Ambaton) lah yang dapat melepaskan mereka dari kesulitan.

Utusan dikirim menemui Simataraja mohon bantuan menghadapi serangan musuh. Untuk menunjukkan keseriusan dan rasa hormat turut dibawa kuda Sigajanabara. Mendapat permohonan, Simataraja berunding dengan dongan tubunya Raja Tamba dan segera disanggupi, membantu dongan tubu Turnip dan Siallagan. Bersama utusan Simataraja berangkat ke Simanindo. Kabar kedigjayaan Simataraja tersebar mendahului dirinya sendiri, sehingga ketika mendengar beliau bersedia datang dan penuh harap bahwa bahaya jadi hatoban segera berlalu.

Setelah mendapat laporan dan memperhatikan situasi lingkungan, bak seorang jenderal perang Ompu Simataraja pun merancang strategi. Kepada Turnip dan Siallagan dipesankan supaya selama tujuh hari semua keturunan Turnip dan Siallagan memintal tali ijuk yang langsung dipatuhi dan dikerjakan. Tujuh hari kemudian hasil pintalan tersebut diserahkan kepada Ompu Simataraja. Perintah berikutnya supaya tujuh hari, tidak seorangpun keturunan Turnip dan Siallagan keluar meninggalkan rumah karena beliau sendiri yang akan menghadapi serangan musuh, mempertahankan tanah Simanindo. Sementara itu Ompu simataraja membuat orang-orangan (sejenis Ondel-ondel Betawi) dengan bentuk yang menyeramkan yang kalau dipandang sekilas mirip serdadu perang. Orang-orangan tersebut dipancangkan dari tao Rahutbosi sampai ke Simanindo dimana semua orang-orangan itu dipasang hanya malam hari sedang pagi harinya dicabut untuk dipasang kembali pada malam hari.

Demikianlah dilaksanakan Ompu Simataraja setiap malam menunggu kedatangan musuh, sedang keturunan Turnip dan Siallagan mengunci diri di rumah. Suatu malam musuh yang ditunggu-tunggu datang menyerang melalui Tao Rahutbosi. Simataraja siaga dengan tali ijuk di tangan, mengontrol orang-orangan yang terpancang dari Tau Rahutbosi sampai ke Simanindo. Begitu melihat musuh sudah masuk jarak sesuai dari yang diharapkan, secara tiba-tiba tali pengontrol ditarik mengakibatkan orang-orangan tersebut bergoyang-goyang seolah serdadu yang siap menyambut serangan musuh, sementara Ompu Simataraja terus berteriak teriak mengeluarkan pekik perang menambah kalut suasana ditambah percikan air yang ditimbulkan tubuh Ompu Simataraja di dalam air danau.

Menghadapi situasi yang tidak terduga dan mendadak, musuh kaget bukan kepalang, posisi -perahu mereka menjadi kalang kabut tidak tentu arah, sebagian panik bertemperasan meninggalkan perahu terjun ke danau dan banyak yang tenggelam, sebagian lagi melarikan diri dengan penuh ketakutan mengira serdadu Ompu Simataraja begitu banyak dengan tubuh kekar dan menyeramkan.

Musuh sudah kalah sebelum menyadari apa yang terjadi. Sejak itu musuh tidak pernah menyerang tanah Simanindo. Mengetahui musuh sudah dapat dihalau, Turnip dan Siallagan sangatlah gembira. Bayang-bayang ketakutan sima sudah. Pesta bolon pun dilaksanakan, makanan namargoar dihidangkan, memanjatkan tonggo kepada Mulajadi menyatakan syukur atas segala perlindungan dan pertolongan. Tidak lupa kepada Ompu Simataraja karena dengan bantuannya mereka berhak menikmati kegembiraan. Puncak rasa gembira dan terimakasih adalah ketika kepada Ompu Simataraja ditar: arkan permohonan agar bersedia tinggal di tanah mereka suatu pengakuan resmi akan kepemimpinan Ompu Simataraja, sebab dengan minta kesediaan Ompu Simataraja tinggal artinya mereka menggantungkan keamanan dan keselamatan kepada beliau.

Namun dengan bijak dan rendah hati beliau menampik dan berkata:
Marilah menempati tanah kita masing-masing.

Di kemudian hari hubungan baik ini terus berlanjut dan mereka berikrar yaitu Simataraja, Raja Turnip dan Raja Siallagan yang berbunyi:
Bila Simataraja marulaon, Turnip dan Siallagan panombolinya.
Suatu padan yang harus diteruskan ke anak cucu sebab pepatah lama berkata:

Togu urat ni bulu
Togu an urat ni padang
Togu hata ni uhum
Togu an hata ni padan.

Pelajaran apakah yang dapat kita tarik dari kisah ini?
Pertama adalah Tona Ompu Siraja Naiambaton yang dilaksanakan dengan konsekwen oleh Ompu Simataraja yaitu si samudar si sada pomparan, si sada anak sada boru. Melihat dongan tubunya kesulitan Ompu Simarmata langsung turun membantu tanpa memperdulikan nyawanya.

Betapa karena perkembangan jumlah pomparan Raja Nai Ambaton sudah sekian banyaknya, sehingga punguan yang ada sekarang kebanyakan adalah punguan marga didalam pomparan Raja Nai Ambaton secara sendiri-sendiri bukan bergabung dalam Parna. Hal ini adalah tuntutan perkembangan, wajar. Tetapi ada gejala karena sudah mengelompok sendiri-sendiri “mudar” sebagai keturunan Raja Nai Ambaton pun mulai mengalami erosi.

Pelajaran kedua, Ompu Simataraja menunjukkan kepada kita, bahwa apa yang akhir ini santer di dengung-dengung kan lewat berbagai media yaitu sumber daya manusia sudah dibuktikannya berabad-abad lalu.

Menghadapi serangan musuh beliau tidak meminta seribu serdadu atau “hujur” malah menyuruh Turnip dan Siallagan jangan keluar rumah. Sebab penting bukan kwantitas tetapi kualitas. Apa artinya pomparan Ompu Simataraja berjumlah ribuan, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kalau setiap kali bertemu hanya memperbincangkan kelemahan saudara sendiri, berdebat tentang kehebatan sendiri, bergiat hanya untuk ambisi pribadi.

Ompu Simataraja meminta Turnip dan Siallagan jangan keluar rumah-kita mawas diri kata-kata itu dapat ditujukan kepada kita. Bila kita tidak dapat diandalkan sebagai sumber daya manusia pemersatu lebih baik jangan keluar rumah.

Hal lain yang perlu kita teladani adalah kreatifitas beliau yang tidak mau dipengaruhi suasana melainkan mempengaruhi suasana.
Musuh menyerang pada waktu malam dari seberang danau, beliau tidak bisa minta supaya musuh menyerang siang hari. Maka memanfaaatkan suasana malam beliau menjebak musuh dengan perangkap Ondel-ondel, suatu trik yang tidak akan berhasil bila dilaksanakan pada siang hari. Di tangan manusia kreatif, hal-hal sederhana justru dapat menjadi berguna, sehingga tidak perlu menunggu sampai semua ada tetapi mulailah dari apa yang ada.

Disamping hal-hal tersebut di atas, Ompu Simataraja menunjukkan ketidak serakahan dirinya, beliau bisa saja menerima tawaran Turnip dan Siallagan untuk tinggal di tanah mereka yang secara de facto berarti menjadi “Yang Dipertuan”.

Serangan musuh terhadap Turnip dan Siallagan adalah dengan tujuan menjadikan mereka menjadi budak-tabanan, hatoban. Kalau Ompu Simataraja bersedia menerima permintaan mereka menjadi yang Dipertuan bukanlah hal itu sama dengan akibat yang diderita apabila Turnip dan Siallagan kalah di tangan musuh?

Ompu Simataraja Simarmata tidak mau terperangkap dalam situasi menjadi penolong tetapi sebenarnya tidak lebih dari bentuk penjajahan dalam bungkus lain. Betapa banyak orang karena merasa menolong, lalu merasa berhak untuk mengatur seluruh kehidupan dari orang yang ditolong, seolah si penolong berubah menjadi Yang Dipertuan.

Yang dipertuan dapat berarti orang tua yang otoriter terhadap anaknya, suami yang harus dipatuhi kata-katanya meski salah, pengurus organisasi yang menganggap anggota adalah anak buah.

Ingatlah Ompu Simataraja tidak ingin menjadi Yang Dipertuan.
Kata-kata beliau yang patut kita catat adalah jawaban atas permintaan Turnip dan Siallagan untuk tinggal dengan mereka yaitu:
Marilah menempati tanah kita masing-masing
Alangkah manisnya kata-kata itu. Alangkah dalam makna yang dikandungnya.
Marilah menempati tanah kita masing-masing artinya marilah kita bahagia dengan apa yang kita miliki. Sebab satu-satunya resep untuk bahagia adalah dengan mensyukuri apa yang ada. Jika kita tidak mampu dipuasi oleh apa yang kita miliki kapanpun kita tidak akan pernah bahagia.

Seperti tertulis dalam Yesaya 9, 19;
Mereka mencakup kesebelah kanan, tetapi masih lapar, mereka menekan ke sebelah kiri tetapi tidak kenyang, setiap orang memakan daging temannya.

Begitu banyak falsafah hidupnya yang dapat kita petik dari legenda Ompu Simataraja dan sebenarnya masih banyak lagi yang tidak cukup terungkapkan dalam kesempatan ini.
Maka kalau kita kembali kepada pertanyaan pada awal tulisan ini yaitu, seperti apakah wajah dan postur tubuh Ompu Simataraja, menjadi tidak relevan lagi.
Sebab seperti apapun wajahnya, bentuk apapun tubuhnya, apakah wajahnya persegi atau tidak, kulitnya coklat atau sawo matang tidak menjadi soal.
Beliau membuktikan jangan kenang sosok tubuhnya tetapi kenanglah sifat perbuatannya.

Itulah Ompu Simataraja yang darinya kita harus bercermin.
Betapa banyak kita harus belajar, betapa bangga bila kita dapat disejajar dengannya.
Setanggi mawar tidak mampu menandangi keharuman kasihnya.
Sekuntum melati tidak sebanding dengan keindahan budinya
Dia lah Ompung yang bijaksana
Dia lah Ompung yang perkasa
Dia benarlah seorang Empu
Ompu Simataraja
Sipatinggil pinggol marbinege
Pajadihon naso jadi
Sipatiur mata mamida
Pajadihon naso jadi
Padungkon naso dung
Sirungrungi na dapot bubu
Sitanggali na dapot sambil
Sihorus na gurgur
Sitamba na longa
Pargantang tarajuan
Parhatian pamonaran
Paninggala sibola tali
Parbatu sisada ihot
Na so ra hurang, na so ra lobi.

3.2.4 Tugu

Bona pasogit adalah tanah kelahiran, bona pasogit adalah kampung halaman, tempat ziarah, tempat perantau melabuhkan rindu. Bonapasogit pomparan Ompu Simataraja adalah tanah Simarmata, suatu Negeri di Pulau Samosir. Hal ini sudah berlangsung sejak lama, sejak puluhan bahkan ratusan tahun lampau ketika keturunan Simarmata masih dapat dihitung tanpa susah, ketika keturunan Simarmata masih punya hubungan kekerabatan yang erat dengan penghuni bona pasogit.

Hari berbilang bulan dan bulan berbilang tahun, waktu terus bergulir dan pomparan Simarmata sudah berserak ke “desa na ualu” ada yang sudah sekian generasi tinggal ditanah rantau sehingga sudah tidak mengetahui lagi akar hubungan kekerabatannya dengan keluarga di Bona pasogit, pengetahuan tentang ompu Simataraja pun sudah menipis atau bahkan sudah tidak punya sama sekali tapi masih konsekwen dan ingat untuk tetap mencantumkan marga Simarmata di belakang namanya. Bagi saudara seperti ini arti sebuah bonapasogit menjadi rancu, bila yang bersangkutan ingin melihat bonapasogitnya siapakah yang akan ditemui, apakah yang akan dilihat, sanak saudara tidak punya, tanah kenangan tidak ada sehingga sulit untuk menghadirkan rasa haru seperti bila dia melihat tanah kelahirannya sendiri. Saudara-saudara ini ada yang tinggal di tanah Karo, tanah Simalungun, tanah Deli dan Langkat, Humbang, Barus, Sibolga, Dairi dan Sipirok.

Pertimbangan inilah salah satu sebab mengapa begitu banyak tugu bertaburan disepanjang jalan bila kita melalui tanah batak.
Tugu adalah monumen yaitu alat pemersatu dan sebagai simbol leluhur marga juga untuk menegaskan bahwa pomparan ini bukan “mapultak sian bulu”. Dengan memiliki monumen seorang pomparan Simarmata tidak soal dari mana dia berasal, tanpa generasi moyangnya sudah pergi merantau meninggalkan bona pasogit dia tetap dapat berkata inilah leluhurku, akulah cucunya.

Untuk mewujudkan pendirian Tugu Ompu Simarmata dengan istrinya Ompu Lahatma bona Limbong Sihole, pada tanggal 28 Januari 1973 dibentuklah Panitia Tugu Ompu Simataraja Pusat di Medan dengan ketuanya MA. Simarmata gelar Vorsitter Simarmata ketika itu ditetapkanlah melalui Surat Perjanjian dan Pernyataan yang mewakili ketiga keterunan Ompu Simataraja bahwa tanah yang bernama Toguan akan menjadi tempat terdirinya tugu yang akan didirikan dan menjadi milik bersama pomparan Simataraja dohot boruna.

Apa Lassar Simarmata mewakili Halihi Raja anak pertama.
Apul Simarmata mewakili Dosi Raja sebagai anak kedua
Jakobus Simarmata mewakili Datuktuk Raja sebagai anak ketiga.

Sedangkan batas-batas dari tanah tempat tugu dimaksud adalah sebagai berikut:
Sebelah timur berbatasan dengan jalan Raya.
Sebelah barat berbatasan dengan tepian pantai Danau Toba.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Lumban Toguan.
Sebelah utara berbatasan dengan Parit.

Pada tanggal 26 Januari dimulailah peletakan batu pertama tanda resminya dimulainya pembangunan tugu Ompu Simataraja. Cangkul diayun dan para pekerja pun mulai bekerja, tetapi di dalam perjalanan pembangunan tugu tersebut seperti pepatah tetua batak “Hau na jonok do masiososan”, di dalam pembangunan tugu Ompu Simataraja inipun ternyata ada banyak hambatan disengaja maupun tidak disengaja yang terlihat maupun yang tersamar. Ketidaksaling mengertian, kekurang komunikasian adalah diantaranya penyebab hambatan-hambatan tersebut.

Begitu panjangnya waktu yang ditempuh dalam menyelesaikan tugu tersebut yang bahkan mengalami pergantian panitia sebanyak tiga kali yaitu:
Vositter MA. Simarmata : Ketua Umum
Senang Simarmata : Ketua Umum
JF. Simarmata : Ketua Umum

Ada keringat, ada air mata ada kesabaran dan keuletan luar, biasanya para pekerja yang bernama panitia dan akhirnya setelah menunggu hampir 17 tahun lamanya berdirilah tugu dari sang leluhur menjulang tinggi sejauh 17 meter itu berarti seperti dijelaskan Bpk. JF. Simarmata kepada wartawan pesta peresmian tugu tersebut, dibutuhkan satu tahun untuk membangun satu meter tugu. Begitu lama? Tidak juga, sebab tiap meter tugu melambangkan panjang keuletan dan kesabaran daiam masa pembangunannya.

Pada tanggal 27 Juni 1990 sampai 1 Juli 1990 diadakanlah perhelatan besar untuk meresmikan tugu tersebut setelah sebelumnya dibentuk Panitia yang mewakili seluruh unsur dari pomparan Simataraja baik dari segi keturunan maupun dari segi tempat tinggal.

Kemeriahan pesta peresmian tugu tersebut dapat digambarkan seperti di laporkan oleh wartawan dalam tulisan pada Koran Sinar Indonesia baru.
Bertemu dengan semua keluarga dari satu keturunan Marga dalam semangat persatu paduan, terasa sangat nikmat sekali. Datang dari segala penjuru tanah air bahkan dari luar negeri yang jumlahnya ribuan keluarga, mereka berkumpul di satu titik yakni di desa asal dimana dahulu kala nenek moyang bermukim, itulah yang sangat tidak ternilai harganya dengan kuasa pangkat dan uang.

Kenikmatan dan semangat kebersamaan seperti itulah yang sudah diraih dan dialami oleh beribu-ribu turunan Ompu Simarmata, ketika selama lima hari berpesta meresmikan tugu nenek moyang mereka di desa Simarmata, kecamatan Simanindo, Pulau Samosir Kabupaten Tapanuli Utara, Rabu tanggal 27 Juni 1990 sampai 1 Juli 1990.
Semuanya berpakaian adat, Soratali (ikat kepala) dari emas dan gelang model batak yang besar-besar pun dikeluarkan dari simpanan. Gondang dibunyikan bertalu talu, tor-tor pun diadakan bersama-sama beberapa ekor kerbau, lembu bahkan juga kuda dipotong untuk jamuan bersama, tidak ketinggalan ikan batak itulah puncak kemeriahan, kebersamaan yang juga telah dialami turunan Ompu Simataraja, hari Rabu sampai hari Minggu, 1 Juli 1990.”

Demikianlah kutipan dari Koran setempat yang menceritakan tentang kemeriahan pesta tersebut, selanjutnya sambutan dari Ketua Lembaga Sisingamangaraja yang hadir pada peresmian tersebut, masih dikutip dari harian yang sama melaporkan sebagai berikut :

“Nunga tangkas huida hami, namarlas niroha do hamu sadarion Mamestahon tugu ni Ompunta namamopar hamu Ima Ompu Simarmata”.

Dibahen hamu sada partanda Sian batu marsusun, rihit marlampis Sai marsusun ma antong di hamu dos ni roha Marlampis hagabeon, marlampis nang hamoraon Dohot hasangapon di hamu tu joloan on.

Sai manghirap ma sian na dao
Manjou sian na donok
Haliaton ni hasangapon, haliaton ni hagabean,
Hamoraon dohot hamajuon di hamu tu joloan on
Asa dapot songon nidok ni Umpasa :

Tangki do galang, garingging jala garege
Tubu ma anak partahi jala ulubalang
Dipomparan ni Raja Simarmata
Naso olo talu, na so olo mandele.

Ansium panorusi, gundur pangalambohi
Songon miak-miak ni haia, dituturi di dampoli.
Jumpa ma anak na marsahala dohot boru na uli lagu
Tuak ma di abaramuna, hasahatan ni pasu-pasu
Anak na olo tu jolo, na olo si ihuttonon
Na boi membahen marsada, sipadao parguluton.

Sahata ma hamu tu dolok, sahata tu toruan songon lote andolok, masi jou jou

Adongna lobi hurang, denggan ma hamu masianjuan molo adong na gale di tonga-tongamuna denggan ma hamu masiurupan.

Masiamin-aminan ma hamu songon lampak ni gaol
Masitungkol-tungkolan songon suhat di robean
Na denggani rap ma hamu manghaol
Asa dapot parsaulian dohot hamajuon

Antong sai martanda ma pestanta on songon adian Marsipatuduan songon dalan Tudu-tudu tu hahorason, tudu-tudu tu hagabeon Horas ma hamu na hugabei hami Tu hipasna ma harm na manggabei.

Antong sauduran ma hita sude halak Batak mangido pasu-pasu sian Tuhan

Asa matorop jala gabe bangso on
Marsangap jala maduma
Di tonga-tonga ni bangsonta bangsa Indonesia
Asa sonang tahe sude, na gabe tujuluan

3.2.5 Data Tugu

Tinggi : 17 meter
Pada puncak tugu terdapat “tatuan” yaitu sejenis piring yang terbuat dari kayu dan mempunyai “kaki” semacam penyangga. Dengan tatuan ni pada masa dulu keluarga Batak makan bersama. Pada model tatuan dipuncak tugu tersebut tidak lupa nasi putih.
Tatuan berisi nasi putih ini menggambarkan-menyimbolkan “Pomparan Simataraja” adalah sapanganan, sisada roha.

Teks yang terdapat pada prasasti dan Piagam

TONA HANGOLUAN
Sada ma hamu tu dolok tu toruan di desa na ualu. Denggan mahamu marsi urup urupan, marsi iring-iringan marsi olo-oloan
Balintang ma pagabe na tinabo taboan
Arimu ma gabe ala olo hamu marsi olo-oloan, marsitungkol tungkolan.

PODA TU HAMU ANAK KU
Hamu anakku na tolu,
Marsijou jouan ma hamu
Jala rap ma hamu sapanganan
Sian tatuan na hutinggalhon, i,
Di bagasan sada ni roha.

Kini tugu kebanggaan seluruh pomparan Ompu Simataraja sudah berdiri tegak di sebuah negeri Simarmata bernama Toguan ditepi pantai Danau Toba, seolah melambai memanggil pulang anak cucunya untuk membangun bonapasogit tercinta, seolah mengulurkan tangan menyambut kedatangan “pomparan”nya dan berkata; “Cucuku kusegarkan jiwa mu lewat elusan angin dan pelukan sejuk udara tanah Simarmata ini, kubersihkan ragamu lewat air danau nan biru tempat aku bermain dulu.”

Cucu-cucuku aku adalah leluhurmu, Simataraja dan Ompu Lahatma boru Limbang Sihole
Tugu ini adalah pemersatu, bagimu keturunanku
Tugu ini adalah tempat ziarah, bagi kamu yang lelah
Tugu ini adalah mata air bagi kamu yang rindu.

Back to top button