Ompu Simataraja dengan Raja Siallagan dan Raja Turnip
SIMARMATA.OR.ID-Ini cerita tentang keturunan Raja Nai Ambaton yang lain yaitu Raja Tumba Raja Siallagan.
Kedua marga ini yang tinggal di Simanindo mendapat serangan marga Purba dari tanah Simalungun melalui tao Rahutbosi. Serangan demikian hebatnya dimana setiap keturunan Turnip dan Siallagan yang tertangkap langsung dijadikan hatoban budak. Raja Turnip dan Raja Siallagan kewalahan dan butuh pertolongan. Sidang darurat diadakan dan sampai pada keputusan bahwa Ompu Simataraja (dongan tubu mereka karena keturunan Raja Nai Ambaton) lah yang dapat melepaskan mereka dari kesulitan.
Utusan dikirim menemui Simataraja mohon bantuan menghadapi serangan musuh. Untuk menunjukkan keseriusan dan rasa hormat turut dibawa kuda Sigajanabara. Mendapat permohonan, Simataraja berunding dengan dongan tubunya Raja Tamba dan segera disanggupi, membantu dongan tubu Turnip dan Siallagan.
Bersama utusan Simataraja berangkat ke Simanindo. Kabar kedigjayaan Simataraja tersebar mendahului dirinya sendiri, sehingga ketika mendengar beliau bersedia datang dan penuh harap bahwa bahaya jadi hatoban segera berlalu.
Setelah mendapat laporan dan memperhatikan situasi lingkungan, bak seorang jenderal perang Ompu Simataraja pun merancang strategi. Kepada Turnip dan Siallagan dipesankan supaya selama tujuh hari semua keturunan Turnip dan Siallagan memintal tali ijuk yang langsung dipatuhi dan dikerjakan. Tujuh hari kemudian hasil pintalan tersebut diserahkan kepada Ompu Simataraja. Perintah berikutnya supaya tujuh hari, tidak seorangpun keturunan Turnip dan Siallagan keluar meninggalkan rumah karena beliau sendiri yang akan menghadapi serangan musuh, mempertahankan tanah Simanindo.
Sementara itu Ompu simataraja membuat orang-orangan (sejenis Ondel-ondel Betawi) dengan bentuk yang menyeramkan yang kalau dipandang sekilas mirip serdadu perang. Orang-orangan tersebut dipancangkan dari tao Rahutbosi sampai ke Simanindo dimana semua orang-orangan itu dipasang hanya malam hari sedang pagi harinya dicabut untuk dipasang kembali pada malam hari.
Demikianlah dilaksanakan Ompu Simataraja setiap malam menunggu kedatangan musuh, sedang keturunan Turnip dan Siallagan mengunci diri di rumah. Suatu malam musuh yang ditunggu-tunggu datang menyerang melalui Tao Rahutbosi. Simataraja siaga dengan tali ijuk di tangan, mengontrol orang-orangan yang terpancang dari Tau Rahutbosi sampai ke Simanindo. Begitu melihat musuh sudah masuk jarak sesuai dari yang diharapkan, secara tiba-tiba tali pengontrol ditarik mengakibatkan orang-orangan tersebut bergoyang-goyang seolah serdadu yang siap menyambut serangan musuh, sementara Ompu Simataraja terus berteriak teriak mengeluarkan pekik perang menambah kalut suasana ditambah percikan air yang ditimbulkan tubuh Ompu Simataraja di dalam air danau.
Menghadapi situasi yang tidak terduga dan mendadak, musuh kaget bukan kepalang, posisi -perahu mereka menjadi kalang kabut tidak tentu arah, sebagian panik bertemperasan meninggalkan perahu terjun ke danau dan banyak yang tenggelam, sebagian lagi melarikan diri dengan penuh ketakutan mengira serdadu Ompu Simataraja begitu banyak dengan tubuh kekar dan menyeramkan.
Musuh sudah kalah sebelum menyadari apa yang terjadi. Sejak itu musuh tidak pernah menyerang tanah Simanindo. Mengetahui musuh sudah dapat dihalau, Turnip dan Siallagan sangatlah gembira. Bayang-bayang ketakutan sima sudah. Pesta bolon pun dilaksanakan, makanan namargoar dihidangkan, memanjatkan tonggo kepada Mulajadi menyatakan syukur atas segala perlindungan dan pertolongan.
Tidak lupa kepada Ompu Simataraja karena dengan bantuannya mereka berhak menikmati kegembiraan. Puncak rasa gembira dan terimakasih adalah ketika kepada Ompu Simataraja ditar: arkan permohonan agar bersedia tinggal di tanah mereka suatu pengakuan resmi akan kepemimpinan Ompu Simataraja, sebab dengan minta kesediaan Ompu Simataraja tinggal artinya mereka menggantungkan keamanan dan keselamatan kepada beliau. Namun dengan bijak dan rendah hati beliau menampik dan berkata:
Marilah menempati tanah kita masing-masing.
Di kemudian hari hubungan baik ini terus berlanjut dan mereka berikrar yaitu Simataraja, Raja Turnip dan Raja Siallagan yang berbunyi:
Bila Simataraja marulaon, Turnip dan Siallagan panombolinya.
Suatu padan yang harus diteruskan ke anak cucu sebab pepatah lama berkata:
Togu urat ni bulu
Togu an urat ni padang
Togu hata ni uhum
Togu an hata ni padan.
Pelajaran apakah yang dapat kita tarik dari kisah ini?
Pertama adalah Tona Ompu Siraja Naiambaton yang dilaksanakan dengan konsekwen oleh Ompu Simataraja yaitu si samudar si sada pomparan, si sada anak sada boru. Melihat dongan tubunya kesulitan Ompu Simarmata langsung turun membantu tanpa memperdulikan nyawanya.
Betapa karena perkembangan jumlah pomparan Raja Nai Ambaton sudah sekian banyaknya, sehingga punguan yang ada sekarang kebanyakan adalah punguan marga didalam pomparan Raja Nai Ambaton secara sendiri-sendiri bukan bergabung dalam Parna. Hal ini adalah tuntutan perkembangan, wajar. Tetapi ada gejala karena sudah mengelompok sendiri-sendiri “mudar” sebagai keturunan Raja Nai Ambaton pun mulai mengalami erosi.
Pelajaran kedua, Ompu Simataraja menunjukkan kepada kita, bahwa apa yang akhir ini santer di dengung-dengung kan lewat berbagai media yaitu sumber daya manusia sudah dibuktikannya berabad-abad lalu.
Menghadapi serangan musuh beliau tidak meminta seribu serdadu atau “hujur” malah menyuruh Turnip dan Siallagan jangan keluar rumah. Sebab penting bukan kwantitas tetapi kualitas. Apa artinya pomparan Ompu Simataraja berjumlah ribuan, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kalau setiap kali bertemu hanya memperbincangkan kelemahan saudara sendiri, berdebat tentang kehebatan sendiri, bergiat hanya untuk ambisi pribadi.
Ompu Simataraja meminta Turnip dan Siallagan jangan keluar rumah-kita mawas diri kata-kata itu dapat ditujukan kepada kita. Bila kita tidak dapat diandalkan sebagai sumber daya manusia pemersatu lebih baik jangan keluar rumah.
Hal lain yang perlu kita teladani adalah kreatifitas beliau yang tidak mau dipengaruhi suasana melainkan mempengaruhi suasana. Musuh menyerang pada waktu malam dari seberang danau, beliau tidak bisa minta supaya musuh menyerang siang hari. Maka memanfaaatkan suasana malam beliau menjebak musuh dengan perangkap Ondel-ondel, suatu trik yang tidak akan berhasil bila dilaksanakan pada siang hari. Di tangan manusia kreatif, hal-hal sederhana justru dapat menjadi berguna, sehingga tidak perlu menunggu sampai semua ada tetapi mulailah dari apa yang ada.
Disamping hal-hal tersebut di atas, Ompu Simataraja menunjukkan ketidak serakahan dirinya, beliau bisa saja menerima tawaran Turnip dan Siallagan untuk tinggal di tanah mereka yang secara de facto berarti menjadi “Yang Dipertuan”.
Serangan musuh terhadap Turnip dan Siallagan adalah dengan tujuan menjadikan mereka menjadi budak-tabanan, hatoban. Kalau Ompu Simataraja bersedia menerima permintaan mereka menjadi yang Dipertuan bukanlah hal itu sama dengan akibat yang diderita apabila Turnip dan Siallagan kalah di tangan musuh?
Ompu Simataraja Simarmata tidak mau terperangkap dalam situasi menjadi penolong tetapi sebenarnya tidak lebih dari bentuk penjajahan dalam bungkus lain. Betapa banyak orang karena merasa menolong, lalu merasa berhak untuk mengatur seluruh kehidupan dari orang yang ditolong, seolah si penolong berubah menjadi Yang Dipertuan.
Yang dipertuan dapat berarti orang tua yang otoriter terhadap anaknya, suami yang harus dipatuhi kata-katanya meski salah, pengurus organisasi yang menganggap anggota adalah anak buah.
Ingatlah Ompu Simataraja tidak ingin menjadi Yang Dipertuan.
Kata-kata beliau yang patut kita catat adalah jawaban atas permintaan Turnip dan Siallagan untuk tinggal dengan mereka yaitu:
Marilah menempati tanah kita masing-masing
Alangkah manisnya kata-kata itu. Alangkah dalam makna yang dikandungnya.
Marilah menempati tanah kita masing-masing artinya marilah kita bahagia dengan apa yang kita miliki. Sebab satu-satunya resep untuk bahagia adalah dengan mensyukuri apa yang ada. Jika kita tidak mampu dipuasi oleh apa yang kita miliki kapanpun kita tidak akan pernah bahagia.
Seperti tertulis dalam Yesaya 9, 19;
Mereka mencakup kesebelah kanan, tetapi masih lapar, mereka menekan ke sebelah kiri tetapi tidak kenyang, setiap orang memakan daging temannya.
Begitu banyak falsafah hidupnya yang dapat kita petik dari legenda Ompu Simataraja dan sebenarnya masih banyak lagi yang tidak cukup terungkapkan dalam kesempatan ini.
Maka kalau kita kembali kepada pertanyaan pada awal tulisan ini yaitu, seperti apakah wajah dan postur tubuh Ompu Simataraja, menjadi tidak relevan lagi.
Sebab seperti apapun wajahnya, bentuk apapun tubuhnya, apakah wajahnya persegi atau tidak, kulitnya coklat atau sawo matang tidak menjadi soal.
Beliau membuktikan jangan kenang sosok tubuhnya tetapi kenanglah sifat perbuatannya.
Itulah Ompu Simataraja yang darinya kita harus bercermin.
Betapa banyak kita harus belajar, betapa bangga bila kita dapat disejajar dengannya.
Setanggi mawar tidak mampu menandangi keharuman kasihnya.
Sekuntum melati tidak sebanding dengan keindahan budinya
Dia lah Ompung yang bijaksana
Dia lah Ompung yang perkasa
Dia benarlah seorang Empu
Ompu Simataraja
Sipatinggil pinggol marbinege
Pajadihon naso jadi
Sipatiur mata mamida
Pajadihon naso jadi
Padungkon naso dung
Sirungrungi na dapot bubu
Sitanggali na dapot sambil
Sihorus na gurgur
Sitamba na longa
Pargantang tarajuan
Parhatian pamonaran
Paninggala sibola tali
Parbatu sisada ihot
Na so ra hurang, na so ra lobi.
Sumber: Torsa-Torsa Simataraja